Eleven

416 53 3
                                    

"Peter."

Untuk kesekian kali, suara itu datang. Aku bahkan menyadari bahwa kini aku tengah berada dalam mimpi itu lagi.

Tapi, kurasa untuk yang ini agak berbeda. Biasanya hanya sebuah suara wanita, namun saat ini aku bisa melihat sosoknya, mengenakan seragam sekolah dengan rambutnya yang dikuncir ke belakang, meski samar karena sekelilingku yang dipenuhi kegelapan. Wajahnya pun tak bisa dilihat. Kuberanikan diri untuk bertanya, "Apakah kau, si pemilik suara yang selalu muncul dalam mimpiku itu?"

"Begitulah."

"Lalu kenapa? Apa kesalahanku sampai kau mengangguku seperti ini?" aku sudah tak takut lagi dengannya, yang kubutuhkan sekarang hanyalah jawaban. Alasan kenapa dia terus muncul dalam mimpiku selama ini.

Dia tak lekas menjawab. Hingga aku harus menekannya, "Tolong bicaralah, beri tahu alasanmu. Aku tidak mengenalmu, tapi kau malah mengacaukan hidupku."

"Kau salah, Peter. Kau mengenalku. Dengan sangat baik."

"Ok. Anggap saja begitu. Lalu kenapa?"

"Aku ingin meminta pertolongan padamu."

Aku terhenyak. Apa yang barusan dia bilang? Meminta bantuanku? Lawak sekali rupanya sosok ini. Selesai menertawainya, ku usap kasar wajahku, "Dengar, saat ini aku juga sedang butuh bantuan, kau tahu? Bukan hanya aku, teman-teman ku pun ikut terlibat. Lalu dengan seenaknya kau mau minta tolong padaku? Maaf, aku tidak bisa. Ada hal penting lain yang harus ku lakukan, ketimbang memenuhi permintaanmu itu."

"Tapi ini-"

"Cukup. Aku sudah memberanikan diri untuk berbicara denganmu. Aku tak tahu kau siapa atau apa, hantu atau semacamnya, yang ku mau kau jangan menggangguku lagi. Jangan muncul dalam mimpiku lagi. Paham?"

"Tidak Peter. Sebelum kau mau membantuku, aku akan selalu muncul. Karena kau lah, akar dari semua teka-teki itu."

Aku mengernyit heran, apa maksud dari ucapannya? Namun sebelum ku tanyakan lebih lanjut, dia sudah menghilang.

Tak lama terdengar suara Jackson membangunkanku, "Bangun juga rupanya."

"Ada apa?"

Andy menjelaskan, "Kau terus saja berteriak selama tertidur, hal itu membuat kami khawatir hingga harus membangunkanmu."

"Maaf, lanjutkan saja tidur kalian. Aku baik-baik saja. Terimakasih sudah mencemaskanku."

"Kau yakin?" Jackson memastikan. Aku hanya mengangguk.

Ku usap wajahku dengan gusar, berusaha mengingat percakapan dengan wanita itu. Hingga pagi menjelang, aku tak pernah tidur lagi.

"Apa kita harus pergi hari ini?" tanya Jackson ketika melihatku berkemas. Ku anggukan saja sambil menjawab, "Kita tidak bisa terus merepotkan pemilik rumah. Lagipula, keluarga dan teman kita juga pasti khawatir."

"Jangan cemas Jackson, kami berdua akan terus membantumu." Andy menepuk pundak Jackson, bisa ku dengar helaan nafas yang dia keluarkan.

Dirasa sudah siap, kami lantas berjalan keluar dari kamar. Hingga tiba di ujung tangga, kami berpapasan dengan Hendrick, "Kalian mau kemana?"

"Begini, emm.... Hendrick, terimakasih atas bantuan yang sudah kau berikan untuk kami. Tapi kami harus pergi." dapat kulihat raut wajahnya yang dalam sekejap berubah. Itu membuatku muak.

"Secepat itu? Baiklah, tapi Peter, bisa ikut aku sebentar? Ada sesuatu yang ingin ku berikan padamu." aku tak langsung menurut begitu saja, sempat ragu, namun tatapan Andy dan Jackson seakan menyuruhku untuk mengikutinya.

"Jadi, ada apa?" tanyaku begitu kami berdua tiba di sebuah ruangan miliknya-terlihat seperti sebuah kamar dengan ukuran lebih kecil dari yang aku dan kedua temanku tempati semalam.

Cukup lama ia terdiam membelakangiku, "Kalau tidak ada yang mau kau sampaikan, aku pamit."

"Sebentar Peter. Kau ini tidak sabaran sekali." Hendrick berjalan pelan, mendekatiku, "Sebenarnya, aku hanya ingin memberi tahumu satu hal." dia menepuk pundakku pelan,

"Kalian tidak bisa keluar dari rumah ini." ujarnya, berbisik sehalus mungkin hingga bulu roma ku seakan menjalar ke seluruh tubuh.

"Apa maksud ucapanmu-"

"ARGHHH!!!"

Tiba-tiba teriakan seseorang memotong kalimatku.

REVENGE'S house (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang