Twenty Six

292 40 0
                                    

Andy tak mati.

Ia masih bisa mengerang kesakitan ketika Hendrick menginjak perut pemuda itu tepat di lukanya yang masih mengeluarkan darah, "Argh!" teriakan Andy lantas membuat Peter langsung mengepalkan kedua tangannya, "Apa yang kau lakukan?!" langkahnya hendak mendekat, namun ucapan Hendrick segera membuatnya seolah terpaku, "Sekali lagi kau melangkah, akan ku pastikan temanmu ini akan bernasib sama sepertimu."

"Hendrick, untuk kali ini aku benar-benar memohon padamu. Lepaskan dia, Andy tak ada sangkut pautnya dengan masalah kita. Kau menginkan jiwa ku kan? Baik, akan aku turuti. Tapi jangan bunuh Andy, ku mohon." bahkan kali ini Peter telah berlutut di hadapan Hendrick. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi selain memelas seperti ini. Ia benar-benar berharap keajaiban akan datang meski hal itu tentu saja mustahil.

"Tidak!" Andy tak terima, ia sudah susah payah untuk menyelamatkan temannya itu tapi Peter malah ingin berkorban untuk dirinya. Ia merasa sia-sia, "Dengar, Peter. Jangan berlagak kau ingin mengorbankan jiwamu. Kau sendiri pun takut kan? Berhenti bicara hal omong kosong. Aku jijik mendengarnya."

Hendrick memutar bola matanya malas, sementara ia biarkan Andy tergeletak di sudut ruangan yang berseberangan dengan Peter, "Aku akui persahabatan kalian cukup menyentuh. Kalian saling mengorbankan diri kalian masing-masing. Tapi apakah kita akan terus seperti ini? Melempar tanggung jawab tentang siapa yang akan aku bunuh nantinya. Hah, sudahlah tidak perlu repot-repot berdebat, ku pastikan kalian akan mati di tanganku. Setelah aku membunuh Peter, akan tiba giliranmu nanti Andy." Segera setelah Hendrick menepuk pelan pipi Andy, dia berjalan mendekati Peter. Di ambilnya lagi revolver yang semula ia jatuhkan. Kini 3 peluru ia masukkan ke dalamnya, jemarinya sudah siap menarik pelatuk. Sesaat ia berkata, "Ada kalimat terakhir yang ingin kau sampaikan, Peter?"

Peluh di dahi Peter kembali mengalir, ia meneguk salivanya dengan kasar. Kali ini sudah tak ada kesempatan lagi baginya. Yahhh, setidaknya dia bisa menyelamatkan salah satu dari kedua temannya itu. Dia menghela nafasnya panjang sebelum berujar untuk terakhir kalinya, "Aku...

... Ingin meminta maaf." Peter cukup mengatakan hal itu. Ia berharap semua orang yang pernah ia sakiti dapat menerima maaf darinya. Terutama Valerie.

Maafkan aku, Valerie. Bahkan kali ini pun, aku tetap tidak bisa menyelamatkanmu.

"Hanya itu?" Peter mengangguk lemah. Dia memejamkan matanya rapat sementara telinganya masih mendengar dengan jelas teriakan putus asa dari Andy, "Tidak... Jangan..."

Hendrick tak menggubrisnya, ia masih memfokuskan diri membidik kepala Peter, "Baiklah. Ku harap tak ada penyesalan nantinya, semoga kau bisa berbahagia di surga sana bersama Valerie."

Valerie, ku bawakan orang yang kau sukai padamu. Dengan ini, ku harap kau lebih berbahagia disana. Setelahnya, aku akan ikut menyusulmu. Tunggu kami, adik kecil.

Hendrick menarik pelatuknya, namun bertepatan dengan itu sebuah suara yang ia kenali, yang ia rindukan sejak lama, yang ia ingin dengar kembali, menyentuh lembut gendang telinganya. Itu suara seseorang yang ia panggil adik kecil.

"Hentikan semua kegilaanmu kak!" fokus Hendrick seketika buyar, tembakannya meleset. Namun tetap melukai pundak Peter.

"Argh!" langsung saja pemuda itu memegangi pundak kirinya yang kini bersimbah darah. Namun setelahnya ia tak memedulikan lagi luka itu, kini Peter turut terhenyak. Ekspresinya sama seperti ekspresi Hendrick. Memandang tak percaya apa yang ada di hadapannya kini. Begitupun dengan Andy, meski jika dilihat kondisinya kian melemah.

Dengan sedikit cahaya putih yang bersinar di sekitarnya, Valerie berjalan mendekati sang kakak yang masih menatapnya.

REVENGE'S house (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang