Twenty Four

296 45 1
                                    

2 menit sudah terbuang sia-sia. Peter meneguk ludahnya dengan kasar. Ia masih bingung harus menjawab apa. Dia sendiri tak yakin kenapa saat itu ia ingin menyelamatkan gadis yang bahkan dekat saja pun tidak. Dia hanya mengenal Valerie karena sebuah rumor di sekolahnya yang kala itu menyebutkan bahwa Valerie menyukai Peter, hanya itu. Ah, satu lagi saat ia mengetahui siapa yang selalu menaruh surat di laci mejanya.

Tunggu, surat?

"Waktu terus berjalan Peter, cepat beri aku jawaban." Hendrick terus menekan Peter, ia sudah meletakkan jari telunjuknya di pelatuk. Siap untuk menarik peluru dari dalam revolver itu.

"Surat! Aku mengetahuinya dari surat yang Valerie letakkan di laci mejaku saat itu." Peter berseru lantang saat menyebutkan kata pertama. Hendrick tampak tersentak, dahinya sedikit berkerut menandakan ia cukup bingung dengan ungkapan Peter, "Surat apa yang kau maksud?" tanyanya lagi.

"Aku tidak begitu ingat, tapi di dalamnya ia menulis jika dia sudah lelah dengan semuanya. Ketika itu aku masih tidak paham apa yang dia maksud, jadi aku hanya menganggap itu bagian dari rencananya agar dia bisa mendapat perhatian dariku."

Begitu rupanya, Valerie-gadis itu, merasa terbebani dengan keberadaan Hendrick sebagai anggota keluarga baru di rumahnya. Kenapa ia tak menyadari sejak awal?

Valerie, kau benar-benar gadis lemah.

Pandangan Peter mengerjap, ia heran sebab tiba-tiba saja Hendrick seolah membeku di tempat ia berdiri. Agaknya ada sesuatu di antara Valerie dan Hendrick yang tidak ia ketahui. Masalah keluarga misalnya. Sekilas bisa ia lihat ada setitik cairan bening keluar dari mata pria yang akan membunuhnya itu.

"Kau menangis?" dengan hati-hati Peter bertanya, jangan sampai karena emosi, pria itu langsung melepaskan pelatuknya. Hendrick langsung tersadar, ia mengusap pipi kanannya. Membersihkan sisa air mata yang tiba-tiba saja keluar. Astaga apa yang baru saja dia pikirkan? Dia merasa bersalah? Itu tidak mungkin. Seorang psikopat seperti dirinya tak pernah memiliki emosi sedikitpun. Yang ada hanya rasa puas ketika menghabisi si korban.

Hendrick mengelak, "Aku tidak pernah menangis. Hanya orang lemah seperti kalianlah yang melakukan hal bodoh itu." dia membenarkan posisinya lagi. Siap meluncurkan timah panas di kepala Peter.

Baiklah, ini dia. Kedua matanya dia pejamkan, Peter menarik nafas cukup panjang. Barangkali itu akan menjadi tarikan nafas terakhirnya. Pun ia juga memanjatkan doa, berharap kedua temannya selamat dan bisa menjalani kehidupan mereka dengan baik meski tanpa kehadiran Peter.

Aku harap kalian baik-baik saja.

Bugh!

Peter membuka matanya, ia heran kenapa tak ada suara nyaring yang terdengar. Ia justru di buat terkejut begitu melihat apa yang baru saja terjadi.

"Andy?!"

Syukurlah, pemuda itu tepat waktu. Telat semenit saja, nyawa Peter sudah pasti bersama Valerie sekarang. Dia tersenyum sementara tubuhnya menahan rasa sakit akibat mendorong tubuh Hendrick, "Aku datang, Peter."

REVENGE'S house (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang