3.1 Efrat: delusion

343 79 125
                                    

SEBUAH kapal tua terapung naik-turun terbawa ombak di malam gelap. Tidak melaju ke depan, hanya bergerak di tempat. Di sekelilingnya, samudra terbentang luas ke seluruh cakrawala. Tanpa ada daratan yang menjulang, bahtera itu tak takut untuk diam di tempat yang sama.

Di atas dek, tidak ada satu pun keramaian. Hening. Dua laki-laki yang biasa membuat gaduh di atasnya juga tidak terdengar. Bak anak ayam yang sudah kelelahan, penghuni kapal itu kini hanya bisa terlelap. Mereka tenggelam dalam tidur di antara hangatnya laut.

Seorang pemuda berambut hitam terlelap nyenyak. Menanggalkan pakaian berat yang biasa ia pakai, pemuda itu tidur dengan celana coklat kesayangan yang masih menempel di paha. Anehnya, tangan kiri masih menggenggam erat sebuah shotgun. Bukannya guling, Makka lebih memilih memeluk sebuah senapan laras panjang dalam tidur.

Sementara di samping kanan Makka, seorang laki-laki berambut coklat keemasan juga tertidur lelap. Hampir telanjang bulat, Taiga hanya mengenakan celana pendek. Jika Makka tidak memarahinya, dia pasti sudah tidur tanpa sehelai benang menutupi kulit. Sosok dari A-Capital itu ternyata masih belum bisa melepaskan kebiasaan Amerika Serikatnya.

Akan tetapi, berbeda dari pemilik mata biru, Taiga jelas tak tertidur lelap. Matanya bergerak cepat. Kelopak netranya tidak bisa membohongi pergerakan bola mata yang ditutupi. Taiga sedang bermimpi. Apa pun mimpinya, visi itu pasti dapat membuat seorang laki-laki kekar berkeringat hebat.

Taiga, ayo pulang!

***

AYAH!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

AYAH!"

Taiga terbangun di sebuah mimpi buruk. Setahun lalu, malam pembantaian.

Taiga berteriak hebat. Dengan suara terkencangnya, dia terus memanggil sang ayah. Pita suara yang sudah terluka tidak ia hiraukan. Teriakan itu terus terlontar dari mulut yang penuh darah.

Berjajar di antara ribuan orang, MESS otot ini duduk terikat di tengah alun-alun. Di sekitarnya, gedung-gedung terbakar merah. Suara sirene berkumandang di seluruh jalan. Teriakan bersahutan hingga mengalahkan teriakan Taiga.

Di tengah alun-alun itu, Taiga bersama orang-orang lainnya dikumpulkan oleh para tentara. Ketika berteriak untuk berdalih pergi, tak ada seorang pun yang menggubrisnya. Para pria berbaju loreng itu menyeret banyak orang ke lapangan pusat kota.

Orang-orang diseret bagai binatang buruan. Tak sedikit orang yang melawan langsung ditembak mati, menyisakan jasad kaku tak bernyawa. Para tentara itu tak menggubris setiap tangisan dari apa yang sedang mereka seret sebab mereka tak pernah menganggap makhluk di genggamannya adalah manusia. Mereka selalu tahu, MESS bukanlah manusia.

Dari lautan manusia yang dipenuhi pekikan, seorang pria maju ke depan dengan wajah garang. Pria berambut panjang itu tiba-tiba menghentikan semua riuh yang terdengar. Alun-alun yang sesak, kini menjadi hening dengan ajaib. Tak berselang lama, pria itu seketika berteriak memecah keheningan,

MESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang