4.3 SEA: for love

299 53 71
                                    

PAGI hari ini sama seperti kemarin. Hawa hangat meliputi angkasa. Sinar mentari menyambut semua manusia. Langit biru pun menambah keindahan. SEA sangat indah. Sulit dipercaya. Tempat seindah itu masih terjaga meski kiamat sudah terjadi berulang kali.

"Makka, ayo kita pergi dari sini!" seru Taiga penuh semangat. Taiga sudah sembuh. Satu hari sudah cukup untuk mengembalikan tenaga MESS otot ini. "Aku sudah kembali kuat."

Taiga melonjak penuh semangat. Beberapa kali, dia meregangkan tubuh. Dirinya mengaku tidak pernah seringan ini. Tanpa perlu meminum kapsul transparan, MESS otot itu tidak merasakan ketakutan dari masa lalu, termasuk bisikan sebelumnya.

"Taiga, ayo pulang!" Taiga menirukan bisikan yang dulu ia dengar—sebagai ejekan.

Tawa memecah kehangatan ruangan. Dinar tersenyum lebar karena pasiennya bisa sembuh amat cepat. Hanya perlu injeksi cairan, partikular bumi bisa larut. Bersama dengan kemih Taiga, larutan partikular bumi bisa terbuang. Dia sudah bebas.

Ketika melihat sang teman berseri-seri, Makka tertawa keras sembari mengepel ruangan. Dirinya harus membalas kebaikan Dinar walau wanita itu tidak meminta imbalan. Di sampingnya, Iky membantu Makka mengepel ruangan. Gadis yang sedang kasmaran itu masih tidak ingin lepas dari sang kekasih. Sangat menggemaskan.

Rumah kayu kecil yang mereka tempati bagai surga. Seraya tertawa bersama seperti keluarga, mereka semua bahkan dapat melupakan sejenak kiamat di luar sana. Namun, kesenangan mereka lenyap setelah sebuah suara bisikan tiba-tiba terdengar,

Tolong aku!

Rintihan tipis seorang lelaki mengusik pendengaran keempat orang yang ada di rumah kayu itu. Sampai membuat semua tawa terhenti, bisikan tadi membangunkan bulu kudu.

Taiga yang semula bersorak gembira, tiba-tiba membeku. Keringat bercucuran dari tubuh. Matanya terbidik ngeri. Diau kembali mengalami ketakutan besar. Dirinya khawatir, penyakit yang membuatnya tersiksa masih belum hilang.

Makka yang waswas kepada Taiga, bergegas menatap mata hijaunya. Seraya berlomba dengan ketakutan Taiga, Makka lantas berseru, "Taiga, tenang! Aku juga mendengarnya."

Dinar dan Iky melirik Makka. Keduanya mengangguk seakan mendengar hal yang serupa. Tanda tanya besar terlahir di benak mereka. Namun, lidah mereka kaku. Tak bisa berkata, hanya saling memandang.

Bos Taiga, tolong aku!

Suara bisikan kembali terdengar. Kali ini, nama Taiga terucap. Dia hampir menjadi gila. Lagi.

"Taiga, aku mendengarnya," sahut Makka untuk menenangkan Taiga. Dia mulai kesal dengan bisikan yang terus terdengar. Tidak membuat takut, malah terdengar konyol. "Taiga, ingatlah ini suara siapa! Kau pasti mengenalnya."

Sayangku Dinar, tolong aku!

Suara bisikan kini menyebut nama Dinar. Dengan imbuhan sayang, bisikan tadi semakin jelas. Sang pemilik bisikan tentu mengenal Taiga dan Dinar.

Dalam sekejap, rintihan tadi terhenti. Hingga meninggalkan keempat orang membeku ngeri, keheningan sontak menyelimuti rumah kayu.

Makka berangsur tenang. Dia menjadi orang pertama yang kembali waras. Ia bergegas menatap tajam Taiga dan Dinar. "Apa yang telah kalian berdua lakukan?"

Taiga langsung bangkit. Sembari berjalan perlahan ke arah Makka, kepalanya menggeleng keras. Meski berpura-pura tenang, ketakutan masih tergurat di wajah putih Taiga. "Aku tidak pernah mengenal teman Dinar."

"Aku pun sama," sahut Dinar menyorotkan tatapan serius. Wanita berambut hitam itu keluar dari bangku. Dengan mengendap, dirinya menuju ke arah Makka.

Keempat orang itu saling menatap satu sama lain. Kengerian menyelimuti tempat mereka. Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Mereka semua masih ketakutan, tapi berusaha mencari penyebab bisikan yang mereka dengar. Seseorang harus mengakuinya.

MESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang