2.4 Turok: the sky emperor

334 85 56
                                    

HUJAN yang turun tajam mengiringi gelapnya malam. Seirama dengan langkah kaki, jatuhan air yang merenggut kehangatan, masih terjun deras enggan terhenti. Masih menutupi angkasa, tak seorang pun sadar atas malam pertaruhan ini.

Beberapa kaki bergetar lemas dalam pijakan. Bahkan, mereka berdiri sempoyongan melawan derasnya hujan. Walau basahnya air tidak bisa menyentuh kulit ari, dinginnya air masih terasa menusuk tulang-tulang yang rapuh.

Seorang pria tua tersungkur tak berdaya. Meski mengejutkan rombongan, pria itu tidak membuat langkah para pencari kebebasan terhenti.

Kulit keriput pria itu semakin mengerut. Suhu dingin menarik indra peraba. Napasnya yang tersengal-sengal, semakin memburu seperti derasnya hujan. Bibirnya yang pucat tak kuasa menutup sampai memperlihatkan gigi yang sudah tak genap. "Ya Dewa, selamatkan kami!"

Makka menghentikan langkah setelah mendengar suara yang bergetar dari belakang. Mengambil seluruh waktu yang tersisa, dia melompat ke arah pria tua itu. Sayang, embusan napas tidak terasa keluar dari hidung sang pria tua.

"Makka, teruskan perjalanan!" seru remaja yang ada di barisan belakang.

"Baek, kau maju ke depan!"

Makka membalik berseru. Tangannya memeluk tubuh pria tua yang sudah mengaku. Dengan kuat, namun lembut, Makka memegang tubuh renta itu. Berharap tubuh yang ada di genggaman bisa mendengar maaf, pemilik mata biru itu menatap sesal pada tatapan yang sudah kosong di depannya.

"Baek, hancurkan semua daratan Turok yang tersisa!" sambung Makka dengan seruan kencang. "Bawa pantai timur ke sini sekarang juga!"

Baek tersadar dengan maksud Makka. Tanpa banyak tanya, kaki kurusnya ia larikan ke depan. Demi mencapai bagian depan barisan itu, dia akan membawa pantai timur kemari.

Mengiringi langkah sang remaja kurus, ribuan pasang mata menatap pasrah ke arah Makka, pemimpin pelarian yang kini tenggelam dalam permintaan maaf. Tanpa berani berkata, ribuan kepala itu hanya bisa membayangkan dirinya lah yang ada di posisi pria tua tadi. Dia terbujur tak bernyawa demi sebuah kebebasan.

"Makka, hentikan hujannya!" seru remaja yang kini berlari ke barisan depan.

Makka melihat sekitar. Puluhan kilometer masih menunggu mereka jika MESS fasa tidak ada bersamanya. Dingin masih menusuk tulang para kepala yang ada di samping. Dengan keyakinan yang sudah bulat, MESS air itu menghentikan hujan.

"Wahai air yang membasahi bumi, tetaplah dikandung awan dan biarkan kehangatan meliputi kami!"

Derasnya hujan seketika berubah menjadi rintik. Setelah itu, rintik yang tersisa berubah menjadi mendung tipis. Memperlihatkan bulan dan gemintang bersinar, angkasa yang gelap mulai terlihat oleh semua mata.

Namun, sebuah benda melayang mencuat terpasang di langit malam. Tak pergi bersama awan, benda itu masih terapung bak lonceng di atas gereja tua. Semua mata menatap ke arahnya, termasuk sepasang mata biru yang tadinya menatap sedih pada tubuh yang sudah kaku.

Benda itu masih melayang di angkasa. Masih sama-sama diam menunggu, orang-orang di dataran dan benda di angkasa masih membeku. Keduanya mematung hingga sinar bulan muncul di belakang benda yang melayang di langit, menampakkan wujud aslinya.

Seorang manusia terbang.

Celaka! teriak Makka dalam batin. Dia mengetahui sesuatu.

"Air, bertarunglah bersamaku!"

Makka bergegas memunculkan tebing es raksasa. Di saat yang sama, sang manusia terbang menarik semua udara yang ada di dataran. Saking kuatnya, tarikan itu mengeluarkan isian yang ada di dalam setiap organ manusia.

MESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang