3.4 Efrat: a predator

301 73 142
                                    

RIMBUNAN pohon berganti tak terlihat. Kedua laki-laki yang kini berjalan dengan terburu-buru itu sedang menuju sebuah sungai besar. Tujuan mereka adalah kapal tua yang menunggu sang pemilik dengan setia. Untuk menjemput Taiga, Makka buru-buru merencanakan sesuatu.

"Kau hendak menyelamatkan laki-laki yang sudah gila itu?" tanya pria bernama Jagra penuh rasa protes. Pria berkulit coklat itu berani banyak bicara setelah kedua kakinya menginjak kabin kapal tua, suatu tempat yang mengapung jauh dari muka bumi, terhalang dari tanah-tanah yang memiliki telinga.

"Taiga tidak gila!" seru Makka, yang mulai muak dengan pria berusia kepala tiga di belakangnya. "Laki-laki bodoh itu masih waras."

Di atas kapal tua yang diam menyepi di tengah Sungai Nil, Makka menentang perkataan bodoh dari pria pengecut yang ia bawa. Dirinya mengetahui sesuatu dari masa lalu sang teman, sebuah kekeliruan yang tersembunyi setahun penuh.

"Suntikan yang diberikan Saba adalah doping yang mengandung partikular bumi," ujar Makka yang mulai berbaik hati kepada pria yang ia bawa. "Jika Taiga tak waras, tidak mungkin bisikan yang didengarnya hanya tiga kata yang terus berulang."

Perlahan sadar, Jagra tersandar lemas. Dirinya menyadari tujuan sang dewa setelah Makka memberikan penjelasan. Mengapa tiga kata itu yang terus dilontarkan? Taiga, ayo pulang!

Pria berkulit coklat itu kembali mengingat. Kemarin, langit cerah sekejap berganti mendung. Kedatangan sang dewa ke suku yang dipimpin Jagra, membuat langit ikut bergetar takut, serupa dengan kengerian orang-orang di sana. Untuk memerintahkan hal bodoh yang tidak masuk akal, sang dewa sampai harus mengancam pria yang menjadi kepala suku ini.

"Saba mengambil adik perempuanku," ungkap Jagra mengeluarkan suara lemas. Keangkuhan seketika luluh, berganti kepiluan yang meluap. "Saba mengambilnya bersamaan dengan perintah bisikan yang bodoh."

Setelah mendengar pengakuan pilu dari pria yang tadinya angkuh, Makka tersadar atas sesuatu. Kemarin adalah sehari pasca kekalahan Kaisar Torue, sang penguasa angkasa. Karena itu, Saba sudah mengetahui kedatangan Makka dan Taiga. Sang dewa sudah memberikan sambutan.

Tanpa pikir panjang, Makka bergegas berlari mencari setumpuk kapsul-kapsul transparan, pil yang selalu diminum Taiga setiap pagi, obat yang malah membuat sakit. Benda bodoh itu adalah penyebab delusi Taiga, sebuah halusinogen yang juga mengandung partikular bumi.

Makka membuang semua ke laut. Dirinya tak meninggalkan secuil obat pun walau hanya sebuah remah.

Jagra yang melihat Makka membuang banyak kapsul transparan, menjadi tenggelam dalam rasa heran. Dengan polos, pria yang masih lemas itu bertanya,

"Mengapa kau melakukan itu? Mengotori Efrat dengan kapsul-kapsul yang tak berwarna?"

Dengan amarah yang semakin jelas tergurat di wajah, Makka mengarah ke pria yang tersandar lemas di dinding kapal. Langkah kaki penuh tekanan terentak jelas. Mulutnya yang kini tidak bisa tersenyum seakan ingin mengoyak seseorang.

"Adikmu akan menjadi sama seperti laki-laki yang kau sebut gila itu jika tidak cepat diselamatkan!" seru Makka penuh kesungguhan kepada sang pria Mesir. "Saba bukan dewa! Dia hanya seorang pecandu!"

Wajah terkejut langsung tergambar di pria yang sudah memiliki seorang anak itu. Hari ini, Jagra sudah tertampar ratusan kali dengan mendengar kebenaran dari dewa yang ia sembah, seorang pria tak waras yang memanfaatkan kekuatan.

Sayang, rasa terkejut yang tercampur dengan amarah itu seketika menghilang. Tanpa sempat berteriak mengeluarkan kekesalan, Jagra kembali terduduk lemas. Pria berkulit coklat itu sadar, percuma melawan seorang dewa. Atau setidaknya, orang itu sudah melindungi Efrat dari kegilaan setahun lalu.

MESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang