3.3 Efrat: sacrifice

283 71 68
                                    

POHON-POHON berkulit lumut menutupi sinar fajar. Hawa dingin menyelimuti rimba yang tak bertuan. Semak-semak membumbung lebat tak menyisakan tempat bernaung. Di kegelapan kelabu itu, dua orang lelaki yang melawan dewa terus maju demi mengikuti bisikan yang mereka dengar.

"Taiga, ayo pulang!"

Bisikan itu masih terus terdengar. Suara yang berat. Seakan keluar dari pita suara seseorang yang bernada sangat rendah, tanpa henti, panggilan tadi terus menggiring Makka dan Taiga masuk ke dalam kegelapan rimba.

Tanah gambut yang dirimbuni rumput tinggi seakan mengamini larangan yang dikatakan penduduk Efrat: belum ada manusia yang memasuki Efrat, orang luar lebih tepatnya.

Semua orang tahu, Efrat memiliki penduduk asli, orang-orang badui yang kembali menjadi suku-suku setelah kiamat lima puluh tahun lalu. Mereka menyembah Tuhan masing-masing. Namun, pada akarnya, semua penduduk Efrat menyembah satu dewa yang sama, dewa yang melindungi kehidupan Efrat, pria yang datang satu tahun lalu.

Kedua laki-laki yang menembus kegelapan hutan itu juga tahu cerita tentang dewa Efrat. Namun, keduanya sama-sama yakin, pria yang datang setahun lalu bukanlah dewa. Dia hanyalah seorang MESS, sebatas Kaisar, seakan menjatuhkan tebakan yang penuh keberuntungan.

"Makka, apa saja hal yang bisa Saba lakukan?" tanya Taiga, yang sudah berani kepada Makka. "Dia cucu Jibril juga sama sepertimu."

Sang pemuda yang diajak bicara oleh Taiga terdiam sejenak. Sejenak berhenti menyingkirkan sulur-sulur yang menjulur, dirinya mengingat sejenak berbagai hal mengenai sepupu tertuanya. Walau belum pernah berjumpa, bapak Makka telah menceritakan semua hal.

"Saba," jawab Makka yakin. "Dia adalah MESS bumi. Pria itu bisa melakukan semua hal yang bisa aku lakukan. Bedanya, dia mendengarkan bumi."

Kedua laki-laki yang kini berhenti mematung, terdiam sejenak memikirkan Kaisar yang bernama Saba. Penjelasan dari Makka membawa keheningan dalam benak Taiga. Jika benar Saba bisa mendengarkan bumi, kedua laki-laki itu berarti sedang berdiri di atas gendang telinga sang dewa.

Akan tetapi, Makka malah enggan khawatir. Tujuan langkah kaki mereka saat ini adalah suara bisikan. Tanpa pikir panjang, pemuda yang merupakan sepupu Saba itu meneruskan langkah, memaksa Taiga berjalan kembali.

Di tengah derap langkah yang teredam tanah lembap, Taiga masih tenggelam dalam keraguan. Entah kenapa, sarafnya bergetar ketakutan. Padahal, penguasa angkasa sebelumnya, Kaisar Torue, tidak membuatnya gemetar. Ada yang aneh, terutama di bagian leher. Bekas dari kejadian setahun lalu entah kenapa semakin berdenyut.

Tidak tinggal diam, Makka yang ada di depan, semakin menambah perhatian kepada laki-laki yang ada di belakang. Sekali lagi, meskipun berekspresi tenang, di benak Makka, mulai tumbuh sebuah tanda tanya besar terhadap masa lalu sang teman.

"Taiga, katakan kepadaku! Setahun lalu, siapa yang memberikanmu kapsul-kapsul transparan?" Makka menyorotkan mata biru yang tajam. "Jangan bilang Saba yang memberikannya?"

"Sepertinya begitu." Taiga menjawabnya agak ragu.

Walau Makka sudah mengatakan bahwa dirinya bukan dokter, dia berusaha mengingat ilmu yang pernah ia timba di bangku sekolah. Obat yang dimakan selama setahun penuh? Injeksi yang membuat seorang tak waras? Pendengaran aneh? Delusi?

Makka tersadar pada satu hal.

Makka bergegas berbalik seraya memasang wajah berapi-api. Seperti menemukan sebuah peti harta karun, dia langsung menuju ke arah Taiga sembari tersenyum lebar. Namun, seringainya tidak dibalas oleh Taiga. Dia malah menengok ke belakang Makka, kemudian bertanya,

"Makka, apakah Saba bisa menciptakan mulut dari tanah?"

Seketika, Makka hanya bisa membelalakkan mata birunya. Tubuhnya membeku kaku. Dia jelas tahu, MESS bumi tidak bisa menciptakan organ tubuh. Lantas laki-laki yang tengah terkejut itu menyadari bahaya ada di belakang pundak.

MESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang