Asap rokok memenuhi ruangan serba putih, sekelebat asap menutupi kaca berukuran besar seolah berembun, sudah setengah jam lamanya dan masih berlanjut hingga satu kotak rokok habis. Sekali lagi Sheldon menghisap dalam-dalam dan menghembuskan ke arah kaca, ia menatap pantulan dirinya dengan datar seraya meraba kumis tipis yang mulai tumbuh di wajahnya hingga menambah kesan lebih dingin dan dewasa. Merasa cocok dengan penampilan sekarang, ia memilih pergi beranjak keluar, berjalan menuju walk in closet apartment pribadi miliknya. Sederhana dan tidak terlalu mewah, karena untuk membeli nya pun, ia harus diam-diam.
Tubuhnya bergerak tidak selera, mengambil satu-satu pakain yang henda kia kenakan, tidak ada gairah hidup bahkan untuk sekedar tersenyum pun terasa berat. Semalaman berkutat dengan tugas sekolah hingga membuat nya tidak bisa tidur nyenyak, belum lagi Rara yang berisik dengan suara ngorok miliknya. Sangat tress.
"Ngapain lo bawa gue kesini?"
Baru saja ia memikirkan Rara, dan sekarang sudah di cegat dengan pertanyaan yang seharusnya bisa Sheldon jawab dengan cepat. Namun dikarenakan Rara yang mulai mendekat ke arahnya, nafasnya terasa berat tidak bisa berfikir panjang.
"Lo ganiat sekolah?" ucap Sheldon berusaha menghalau perasaannya yang mulai berantakan.
Rara menggeleng, masih mendongak menatap Sheldon dengan dekat. Walau dengan perasaan sakit hati dan juga kecewa yan teramat dalam, Rara masih bergejolak dengan jantungnya yang berpacu kencang. Sheldon yang wangi dan terlihat makin tinggi, Sheldon yang kini sudah memiliki kumis tipis dan juga semakin maskulin, sangat berhasil membuat Rara semakin sakit hati. Bagaiamanapun, Sheldon semakin ganteng dan sangat berhasil membuat Rara gamon alias gagal move on.
"Mau nanya dong, lo benci sama gue ya?"
Tanya Rara takut, ia masih berusaha mencari harapan dari tatapan Sheldon.
"Iya, banget."
"Lo benci karena apa?"
Sheldon memajukan langkahnya, semakin merapat mendekat Rara. "Lo gamau nurut sama gue," ucap Sheldon kemudian meninggalkan Rara.
Rara mengikuti langkah Sheldon, memperhatikan laki-laki itu yang sibuk merapikan dasi di seragamnya. Sedangkan Rara kini masih berlanjut tidur dan bergulun dibalik selimut tebal. Ia diam-diam memperhatikan Shledon seraya memikirkan kejadian tadi malam, apa saja yangterjadi di antara mereka, dan kalaupun tidka terjadi apa-apa, mengapa Sheldon tidak mengambil kesempatan.
"Lo mabuk udah kaya orang gila. Nyusahin." Ucapnya kemudian segera menarik selimut Rara agar, "kalo bunda tau lo nginep disini, mungkin lo udah di maki kali ya."
Ucapan Sheldon barusan berhasil membuat Rara terdiam mematung, bukan karena ucapan Sheldon yang terdengar menyakitkan, namun ia rindu dengan keluarga nya yang sering pergi ke Singapura dengan alasan bisnis. Bahkan Steeve pun tida memberi kabar jelas, padahal baru beberapa hari yang lalu Rara di ajak jalan-jalan.
"Kenapa lo bisa main bareng Barga?"
"hah?" tanya Rara reflek.
"Gajadi,"
"Bagus deh, bukan urusan lo juga." Ucap Rara sekilas melihat raut wajah Sheldon yang berubah.
"Lo tau kan Barga gimana?"
"Gue gatau, dan gamau tau juga masalah lo dengan Barga apaan. Lo sendiri yang yang gapernah cerita tentang hidup lo." Ucap Rara tenang namun berhasil menyulut emosi Sheldon.
"Lo gabakalan ngerti."
Rara beralih cepat memandang Sheldon dengan tatapan emosi, ia melangkah cepat dan mendekat ke arah Sheldon, "Shel, walaupun lo gamau cerita tentang masalah lo. Setidaknya lo mau tau masalah gue di sekolah. Kalo gabisa ngepublish gue, setidaknya lo bales chat gue yang udah bejibun itu. Gue gangerti sama sircle pertemanan lo gimana, banyak yang gue gatau dari lo, semuanya. Bahkan gue gatau perasaan lo ke gue gimana." Rara menghembuskan nafas kasar, ia berhasil mengeluarkan emosi nya, ia tak gentar menatap Sheldon yang jauh lebih dalam menatapnya, ada rasa sakit tersendiri ketika Sheldon hanya menampilan wajah tenangnya. Rara bingung apa yang sedang Sheldon pikirkan saat ini, atau apa ia sedang dikasihani dengan air mata dan juga semburat menyedihkan yang ada di wajahnya.
"Kenapa lo diem?"
"Udah selesai marahnya?"
Alih-alih semakin tenang akibat ucapan Sheldon barusan, ia malah menangis kencang ketika mendengar suara rendah Sheldon, Rara pikir ia akan di tertawai atau bahkan dibentak.
"Jangan nangis dulu, gue baru mau bicara." Ucap Sheldon meraih tangan Rara yang menutupi wajahnya.
"Maaf sebelumnya, gue emang salah. Keputusan gue emang udah pilihan yang tepat."
Rara mengangkat wajahnya berani, mencari kebohongan dari tatapan Sheldon, namun tidak ada. Rara bingung harus tetap realistis atau tidak, tidak mungkin seorang Sheldon yang notabennya seoran ketua OSIS dikenal dengan kepintaran dan juga sifat cueknya mau pacaran dengan dirinya.
"Okay, gapapa. Makasih udah mau nampung gue disini."
Rara mengedarkan pandangannya, ia segera meraih tas sekolah miliknya dengan cepat, sangat buruk jika ia harus menangis kembali di dalam kamar Sheldon. Ia memilih berlari cepat takut air mata nya kembali jatuh, namun sebelum ia meraih ambang pintu, ia kembali memandang Sheldon, "dadah, kamu berhak dapet perempuan yang sepadan dengan kamu."
"Ra,"
"Hey, it's okay. Ntar lo telat loh."
Naif rasanya jika saat ini Rara baik-baik saja, ia benci dengan dirinya yang harus mengatakan kalimat tersebut pada Sheldon, karena sejujurnya ia tidak ingin melepaskan Sheldon. Tidak banyak kenangan diri nya bersama Sheldon namun rasa sakit di dada nya sangat kuat, sesak dan penuh.
"Mas, saya gapapa ko." Ucap Rara kepada supir offline yang ia pesan secara mendadak akibat tidak memiliki kuota internet.
"Maaf mba, saya gatau masalah mba nya apa, tapi kalo lagi sedih gini langsung inget orang tua aja yang udah cape ngebiayain mba, biar kita tetep baik-baik aja, orang tua saya sih bilang gitu."
Hampir saja Rara emosi ketika lagi-lagi harus disangkut pautkan dengan orangtua, membuat dirinya semakin sedih yang ditinggal pergi.
"Mas, saya turun disini aja ya, uda deket soalnya. Makasih ya mas."
Rara berlari meluapkan tangis nya yang tidak tertahan, bibirnya sesegukan dan tangannya bergetar cukup kuat. Cengeng, itulah Rara, berjalan sendiri diatas tuntutan sang Ayah, tidak memiliki banyak teman, dan sedihnya harus mendapat perasaan sesama jenis. Mengingatnya saja berhasil membuat dirinya semain terdengar kasihan dan tidak berharga.
"Zell, abang sayang sama kamu."
Rara segera menghapus air mata nya ketika Steeve memeluknya erat, abangnya menangis kencang hingga membuat Rara menangis kembali.
"Rara gapapa bang," ucap Rara menepuk pundak Steeve.
Steeve melepas pelukannya, menatap Rara yang tersenyum hangat kepadanya, entah apa yang terjadi dengan Rara selama meninggalakan dirinya sendiri. Sedangkan Steeve juga sedang berkutat dengan pikirannya saat ini, sebelum Rara menarik genggaman Steeve untuk masuk ke dalam rumah, ia kembali menahan Rara.
"Bunda meninggal Ra,"
"Galucu loh bang, gue gapapa padahal. Klao mau bikin gue ketawa ga gitu bang. Hahaha, udah bang, Rara mau mandi."
"Dek,"
"GALUCU BANG."
"GUE GA LAGI NGELUCU!"
Rara menutup mulutnya, menatap denga dalam ke arah Steeve berusaha memastikan bahwa hari ini nyata bagi nya, bukan sedang berada dialam bawah sadar nya. Ia mematung dan dunia nya kembali hancur ketika ayahnya muncul dari kamar, dan memeluknya.
"Pa, bang steeve bercanda kan?"
"Masih ada Papa sama abang, kita semua sayang sama kamu."
Bohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHELDON🚫
Romance"Jangan sampai ada yang tahu kalau kita pacaran. Lo ngerti kan?!" Bentak Sheldon dengan tatapan tajam. Bernama Sheldon Arwanda Nikson, laki-laki yang mampu membuat siapa saja terpikat. Kata murid Cakrawala, Sheldon jutek nan bengis, ketua Osis yang...