Bab 3. Rumor

1.1K 129 1
                                    

Tamu undangan mulai datang satu persatu. Kulihat Bapak tengah menerima para tamu. Aku tak melihat suami Ayu sedari tadi. Aku pun mendekati Ozil yang duduk tak jauh dariku. "Zil, suaminya Mbak Ayu gak diundang?" bisikku pelan.

Ozil menoleh ke arahku yang berada di samping kanannya. Ia kemudian memperhatikan sekeliling. "Diundang kok, Mas, tapi kayaknya dia gak bakal dateng, soalnya kalau diundang gak pernah dateng," ucap Ozil sambil memakan kacang rebus yang tersaji di depannya.

"Emang kenapa?" tanyaku penasaran.

Ozil kembali berujar, "biasanya kalau malem emang jarang di rumah. Baru nanti tengah malem pulang."

Aku mengangguk tanda mengerti. "Kira-kira kamu tahu gak mereka ke mana?"

Ozil mengangkat bahu. "Kata orang-orang sih, si Mbak Ayu jadi lonte dan tiap malem suaminya yang nganterin," ujarnya pelan agar tak terdengar.

"Apa? Kamu yakin?" ucapku dengan nada keras. Sontak semua mata para tamu undangan tertuju ke arah kami berdua, tak terkecuali Bapak. Untuk menutupi rasa maluku, Aku segera menarik tangan Ozil dan membawanya masuk ke kamarku.

"E-eh, mau ke mana, Mas? Bentar lagi acaranya dimulai," ucap Ozil.

"Udah, jangan banyak tanya. Ikut aja. Bentaran doang kok."

Sampailah kami di depan kamarku. Aku langsung membawa Ozil masuk dan segera mengunci pintu kamar dari dalam.

Ozil duduk di atas kasurku sambil memperhatikan sekitar. Sementara itu, aku jongkok di depannya. Aku juga mengeluarkan sebuah uang dari dalam dompetku. Aku pun memberikan uang 50 ribuan satu lembar kepadanya. "Ini, ambillah buat beli paket internet."

"Ini apa maksudnya Mas?" tanya Ozil kebingungan.

Aku menatap kedua mata Ozil. Tangannya kugenggam dengan erat. "Mas Damar mau tahu lebih tentang Mbak Ayu dan suaminya, tapi kamu janji gak boleh bilang-bilang ke siapa-siapa."

"Oh, maksudnya ini suap menyuap?" tanya Ozil sambil menerima uang tersebut.

"Hus! Bukan. Ini ... ya ... hanya tukar menukar informasi," ucapku.

"Pinter banget kalau ngeles," ucap Ozil sambil mengendus uang itu. "Hm, wangi sekali uang ini."

"Kalau kamu gak bilang ke siapa-siapa, Mas Damar bakal tambahin uang 50 ribu lagi."

Ozil melirik ke arahku, kemudian ia memasukkan uang itu ke dalam saku celananya. "Kalau cuma segini kurang, Mas."

"Dasar mata duitan! Baik, Mas tambahin 100 ribu." Aku pun memberikan Ozil uang 100 ribu.

Ozil menerima uang dariku dan memasukkannya ke dalam saku celananya lagi. "Emang Mas Damar mau tahu tentang apa?" tanyanya.

Inilah kesempatanku. Aku tak boleh menyia-nyiakannya.

Aku menatap kedua mata Ozil dengan penuh harap. Semoga dia mau menjawab semua pertanyaanku yang sangat mengganjal saat pertama kali aku datang ke desa ini setelah sepuluh tahun tak pernah pulang. "Mbak Ayu ngelonte di mana?"

Ozil menatapku dan menghembuskan nafasnya dengan sangat panjang. Ia melihat ke arah jendela yang ada di belakangku. "Katanya sih suka main di Geladak Merah."

Mataku tertuju kepada rumah Ayu. Rumahnya terlihat sangat sepi dan tak ada orang di sana. Aku kemudian kembali bertanya kepada Ozil yang siap menjawab segala pertanyaanku. "Zil ...."

"Iya, Mas?"

"Kamu tahu gak? Selama Mas Damar gak di sini, apa yang terjadi sama Mbak Ayu?"

Ozil mencoba mengingat-ngingat masa lalu itu. "Dulu sih rumahnya sering didatengin Paman Cetol, Pak Dhe Budi, Paman Burhan, dan Paman Rohyan," ujarnya mantap.

"Hah? Kamu yakin itu mereka?"

"Iya, bahkan dua hari sebelum Mas Damar pulang, mereka juga ke sana."

"Ngapain mereka?"

Ozil mengangkat bahu. "Semua pintu dan jendela ditutup rapat, Mas. Jadi aku gak tahu secara pasti."

"Seberapa sering mereka ke rumah Mbak Ayu?"

Ozil terdiam cukup lama. Bibirnya terkatup rapat seakan ingin mengatakan sesuatu. "Hmm ...." Ozil kembali menghembuskan nafasnya yang panjanh. "Kalau aku waktu masih kecil ... sering banget Mas. Cuma ya itu, tiap ada Pak Dhe Budi dan temen-temennya, Mbak Ayu sering teriak-teriak, tapi pas udah nikah sama Mas Ardi, ya gak gitu lagi. Lebih kalem."

"Mas Ardi?" tanyaku.

"Iya, suaminya Mbak Ayu."

"Orang jahat itu namanya Ardi?"

"Menurutku dia gak jahat kok Mas, dia malah ramah banget dan suka bantu aku. Cuma sedikit galak sih."

"Kamu harus lebih hati-hati sama dia. Kamu tahu kalau dia pernah melecehkan anak umur 14 tahun?"

"Tapi, kata dia, dia gak pernah melakukan itu. Dia dijebak. Bahkan kata temenku, yang merkosa tetangganya bukan dia."

"Tetangga temenmu itu korban dia?"

"Iya."

"Sekarang dia di mana?"

"Siapa?"

"Si korban."

"Udah meninggal karena bunuh diri."

"Hah? Terus kok tetanggamu bisa tahu kalau Ardi bukan yang merkosa?"

"Iya, soalnya Bapaknya polisi yang ngurusin kasusnya, tapi Bapaknya tiba-tiba diberhentikan dari tim pas mau menyelidiki lebih lanjut. Ya setelah itu tambah kacau, berhubung banyak orang terlanjur benci, katanya sih, Mas Ardi dijadiin tersangka aja lah. Sampai sekarang pun gak ada yang tahu siapa yang merkosa dia. Cuma kata ibu korban, anaknya diperkosa lebih dari satu orang."

"Tahu dari mana kamu?"

"Kata ibunya, ibunya tahu dari dokter yang periksa korban."

"Kamu ini bener-bener anak yang cerdas, ya! Bisa tahu segals informasi."

"Iya, dong. Soalnya aku mau jadi polisi kayak bapaknya temenku. Jujur dan dapat dipercaya."

"Terus, kamu tahu kenapa Mbak Ayu kok sering teriak-teriak?"

"Enggak. Cuma katanya dia habis jatuh dari jurang, terus ketemu sama dedemit, tapi aku gak percaya sih, soalnya kata Ibu, wajah dan tubuh Mbak Ayu memar, penuh sundutan rokok, dan dia sering ngeluh sakit pas mau pipis."

"Apa jangan-jangan dia diperkosa juga?" Tiba-tiba pikiranku jadi kepikiran ke arah tersebut.

"Aku juga mikirnya gitu, Mas, tapi aku gak boleh sok tahu kata Ibu dan gak usah cari tahu. Mangkanya aku biarin aja."

"Tapi, kalau dia beneran diperkosa gimana?" tanyaku.

"Ya, pemerkosanya harus dihukum seberat-beratnya, Mas."

"Menurutmu, hukuman apa yang paling cocok?"

"Dihukum penjara dan dihukum sosial menurutku lebih dari cukup."

"Masih ada yang kurang."

"Apa itu?"

"Potong kelaminnya."

"Tapi, kalau seandainya Mbak Ayu gak diperkosa gimana? Bisa aja dia cuma disiksa, apalagi kata Ibu, dia dulu anak paling cantik di desa ini dan musuhnya banyak banget, terutama sesama cewek"

Suara ketukan pintu kamarku terdengar. Kudengar Bu Lik Mayang memanggil kami di balik pintu. Aku segera membuka pintu kamarku. "Ayo keluar, bentar lagi mulai."

"Iya, Bu Lik."

Bu Lik Mayang melirik ke saku celana Ozil. "Dapat dari mana kamu duit sebanyak itu, Zil?"

"Itu dari aku. Soalnya tadi dia habis beliin paket internet," jawabku.

"Gak usah banyak-banyak kasih dia, Dam." Bu Lik Mayang kemudian menuju ke Ozil. "Sini Zil, uangnya ditabung ke ibu."

"Enggak ah, entar duitku hilang seperti yang sudah-sudah." Ozil pun pergi sambil melengos ke arah Bu Lik Mayang.

Aku hanya menyeringai. "Ya udah, aku mau ikut Ozil aja," ujarku.

***

Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang