Kedua mataku sudah terkantuk-kantuk sejak dari rumah ibu mertua. Sepertinya aku ingin segera tidur setelah sampai di rumah sambil menarik selimut di kasurku.
"Mas, bisa lebih kenceng gak nyetirnya?"
"Bisa. Kamu udah ngantuk banget, ya?"
"Hu-um."
"Sabar ya."
Mas Ardi terus menyetir motornya. Angin malam terasa menusuk kulit punggung tanganku. Untungnya, tubuhku masih terasa hangat karena jaket yang kupakai.
Tak lama setelah itu, sampailah kami di depan rumah. Aku merasakan seseorang memperhatikanku. Ah, bukan, kurasa ada dua orang. Yang pertama, Mas Damar. Lalu yang kedua siapa?
"Mas, aku ngerasa ada yang lihatin kita."
"Itu cuma perasaanmu saja. Cepat masuk dan langsung tidur."
Aku mengangguk dan segera membuka pintu rumahku. Mas Ardi terlihat sedang memasukkan motornya, sementara itu aku menaruh barang-barangku ke dalam ruang tamu.
Di saat bersamaan, seseorang dengan berpakaian serba hitam dan kepala ditutupi seperti ninja muncul di balik pohon mawar dan langsung menggorok leher Mas Ardi.
"Akkkhhh!" Mas Ardi berusaha menekan luka di lehernya yang terus mengucurkan darah. Sementara itu, aku masih mematung beberapa saat. Orang yang menggorok leher Mas Ardi melepas sedikit penutup kepalanya.
Aku tersentak karena Rohyanlah yang menggorok leher Mas Ardi. Rohyan tersenyum ke arahku sambil memperagakan tangannya menggorok lehernya.
"AAAAAA!"
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Rohyan lari dari hadapan kami.
Aku langsung menuju ke arah Mas Ardi yang sedang sekarat. Aku memangku kepalanya dan terus menangis di hadapannya.
Mas Damar berlari dari arah rumahnya. Dialah orang pertama yang datang dan menahan darah yang terus mengucur di leher Mas Ardi. Mas Ardi tiba-tiba mencengkeram tangan Mas Damar. Kurasa Mas Ardi tengah melawan ajalnya. Luka di lehernya sangat parah dan akhirnya Mas Ardi menghembuskan nafas terakhirnya.
Dadaku sangat sesak melihat tubuh Mas Ardi yang terbujur kaku. Aku kini benar-benar sudah sendiri. Tak ada lagi yang akan menjagaku. Aku telah kalah.
Aku meninggalkan jasad Mas Ardi dan masuk ke dalam kamar. Aku ingin menangis sepuasanya di dalam.
Harusnya aku dan Mas Ardi benar-benar mendengarkan perkataan Ozil. Andaikan aku mengikutinya, pasti sampai sekarang Mas Ardi masih hidup.
Mas Ardi.
Air mataku mengalir sangat deras di pipiku. Dadaku masih terasa sesak karena kehilangan Mas Ardi yang kusayangi. Kuperhatikan sekeliling kamarku. Kulihat kasur yang biasa ia gunakan untuk tidur. Kuciumi dan kupeluk bantal itu. Aku menuju ke arah lemari kamarku. Kulihat jejeran bajunya yang tertata rapi. Kini, aku tak akan melihatnya lagi memakai pakai-pakaian itu. Aku juga tak akan melihatnya lagi berkeliaran di sini.
Mas Ardi.
Kenapa kamu begitu cepat meninggalkanku, Mas?
Aku harus membunuh iblis-iblis itu. Mereka bertanggung jawab atas kematian Mas Ardi dan diriku. Aku menganggap diriku telah mati bersama Mas Ardi. Ya, jiwaku telah mati meski ragaku masih hidup.
Akan kubunuh mereka semua.
***
"Zil, apa kamu punya nomor telepon Pak Dhemu dan anak buahnya?"
"Buat apa, Mbak?" tanya Ozil sambil melipat kain yang sudah kering.
"Tidak ada."
Ozil duduk di sampingku dan menepuk pundakku. "Mbak Ayu jangan merasa sendiri, ya. Ada aku di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]
Horror⚠TRIGGER WARNING⚠ ⚠KONTEN 18+!⚠ Semenjak kematian suami Ayu, warga desa diteror dengan berbagai kematian, seperti kematian Pak Rohyan dan Pak Cetol. Mereka berdua adalah orang-orang kepercayaan Pak Kades. Pak Rohyan mati digorok oleh orang tak diken...