Bab 13. Pak Junaedi

912 98 2
                                    

Para warga mulai menuju ke rumah Pak Junaedi dipimpin oleh Bapak. Terlihat amarah warga yang menyebut Pak Junaedi dengan sebutan "bajingan".

"Hey, keluarlah kau Junaedi!" teriak salah satu warga di depan rumah Pak Junaedi.

"Keluar! Kalau enggak, akan kami lempari rumahmu dengan batu!" tambah yang lain.

Pintu rumah Pak Junaedi terbuka, keluarlah Mas Faqih yang hanya memakai sarung dan kaos tipis. Ia adalah anak bungsu Pak Junaedi dari delapan bersaudara dan setahuku dialah yang selama ini menjaga dan merawatnya.

"Panggil si keparat Junaedi!" teriak Pak Burhan ke Mas Faqih. 

"Ini ada apa, ya? Bapak lagi sakit," ucap Mas Faqih sambil membenahi sarungnya.

"Halah, alesan aja kamu! Ayo semua, seret keparat itu keluar!" teriak Pak Burhan yang semakin menyulut emosi para warga.

Aku tak bisa membendung para warga desa yang marah, satu persatu mereka masuk ke rumah Juanedi. Mas Faqih yang berusaha menghalau para warga pun terpental beberapa meter.

"Mas Faqih gak apa-apa?" tanyaku membantu Mas Faqih berdiri.

"Ini ada apa Dam?" tanya Mas Faqih.

"Pak Cetol mati terpenggal dan warga desa mengira Pak Junaedi yang membunuhnya."

"Astaghfirullah. Itu gak bener!" Mas Faqih langsung bangkit dan melindungi Pak Junaedi yang diseret dengan paksa oleh warga.

Pak Junaedi menangis dan memohon untuk dibebaskan. "Tolong saya, saya gak tahu apa-apa!" ucapnya sambil terus memohon kepada warga desa. Aku tak kuasa melihat Pak Junaedi seperti itu, tapi apalah dayaku? Mereka tak ada yang mau mendengarkanku.

Pak Junaedi diseret, dipukuli, diludahi, dan ditelanjangi oleh warga desa. Mereka juga meneriakinya dengan sebutan "pembunuh". Sementara itu, Mas Faqih terus melindungi Pak Junaedi dari amukan massa.

Tangisan istri dan kedua anak Mas Faqih turut berbaur dengan amarah para warga. Pak Junaedi dipaksa menjadi pelaku atas kematian Pak Cetol. Dengan ganasnya para warga desa menarik tubuh tua Pak Junaedi yang sudah penuh luka.

"Pembunuh!"

"Penggal kepala Junaedi!"

"Pembunuh"

"Penggal kepala Junaedi!"

Pak Junaedi terus diarak warga berkeliling desa. Ia terlihat sudah pasrah dengan perlakuan para warga. Tubuhnya melemas dan bersiap-siap  menunggu ajal. Kudengar bibirnya mengucapkan kalimat tahlil berkali-kali.

"Berhenti!" Pinta Mas Faqih sambil berurai air mata. Namun warga terus saja menyeret Pak Junaedi yang sudah telanjang bulat dan penuh luka di tubuhnya. Melihat itu, aku langsung ikut melindungi Mas Faqih dan Pak Junaedi.

"Bukkk!" Satu pukulan mengenai kepalaku. Aku menjadi sedikit pusing dan pandanganku sedikit gelap. Di depanku, kulihat Bapak menarik seseorang dan memukul wajahnya. Bapak juga menendang dada dan kepala orang tersebut. Sial, pendengaranku mulai berkurang.

Aku jatuh tersungkur. Kudengar Bapak terus memanggilku. Aku juga merasakan seseorang menggoyangkan tubuhku. Samar-samar aku merasakan kehadiran Ayu. Wangi tubuhnya begitu terasa. Kucoba buka kedua mataku. Buram. Gelap. Aku tak mendengar apapun.

***

Aku terbangun ketika bau balsem didekatkan di hidungku. Kulihat Ibu tengah mengusapi rambutku. "Pak Junaedi ... Mas Faqih ...."

"Iya, Dam. Faqih baik-baik aja," ucap Ibu. Sementara itu, Bapak terlihat sedang berpikir dan mondar-mandir di belakang Ibu.

"Kalau Pak Junaedi gimana, Bu?" tanyaku.

Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang