Pak Kapolsek dan dua polisi itu pulang menggunakan mobil dinas mereka. Aku pun segera menemui Bapak dan berniat bertanya tentang perkembangan kasus Pak Cetol dan mayat tanpa kepala yang ditemukan di ladang Pak Sobri. Aku duduk di samping kanan Bapak yang sedang menonton berita.
"Apa kedatangan mereka juga bahas tentang kematian Pak Cetol dan mayat tanpa kepala itu, Pak?"
Bapak menoleh ke arahku. "Iya."
"Gimana katanya?"
"Mereka sedang mengejar pelakunya yang sekarang kabur ke Kalimantan."
"Siapa?"
"Salah satu musuh Bapak dari desa sebelah."
"Pelakunya sama berarti, Pak?"
"Iya."
"Motifnya apa?"
"Katanya dia ingin menebar teror."
"Masa cuma gitu doang?" tanyaku.
Bapak tak membalasku. Lalu ia beranjak dari duduknya dan langsung membawa tas kerjanya ke dalam mobilnya.
Bapak pasti marah karena sikapku tadi kepada Pak Kapolsek dan dua orang polisi yang bersamanya, tapi menurutku apa yang kulakukan sudah benar. Setahuku para polisi itu sudah dibayar oleh negara, harusnya tak perlu minta uang keamanan lagi kepada Bapak, tapi aku tak mau terlalu ambil pusing. Mungkin memang seperti itulah kebiasaan di sini, karena meski desa ini sudah maju, bukan berarti pemikirannya ikut maju.
"Dam, nanti ibu minta tolong anterin ibu ke Pak Soleh, ya," ucap Ibu sambil memberikanku roti dan sekaleng susu, serta satu keranjang berisi bermacam buah.
"Pak Soleh kenapa, Bu?"
"Pak Soleh sakit, udah dua hari gak ronda."
"Sakit apa, Bu?"
"Biasa, namanya orang tua."
Setelah mengganti pakaian, aku mengantar Ibu menuju ke rumah Pak Soleh. Untuk bisa ke rumahnya, kami harus melewati rumah Ayu. Kebetulan Ayu tengah menyapu teras depan rumahnya yang sangat kotor.
"Dasar perempuan gila," ucap Ibu. "Kamu tahu gak Dam, setelah kematian Ardi dia tambah menjadi gila."
"Gila gimana maksudnya Bu?"
"Masa dia sering nunjukin tetenya saat orang-orang lagi ronda malam. Untung aja dia gak diperkosa. Pokoknya kamu jangan sampai deket-deket sama dia. Entar kalau dia hamil sama orang lain malah nuduh kamu sebagai bapak anaknya. Amit-amit jabang bayi," ucap Ibu sambil mengetuk kepalanya beberapa kali.
"Masa sih, Bu?" tanyaku, karena sepengetahuanku Ayu tak pernah keluar rumah selama ini. Kalau pun keluar dari rumah, ia akan segera pulang usai urusannya selesai.
"Iya, ibu kata Pak Burhan dan Pak Samsuri," ujar Ibu sambil membenahi kerudungnya yang miring. "Masa kata Pak Burhan, dia remes-remes tetenya di depan mereka terus sambil nunjukin bokongnya juga."
"Itu yang digituin Pak Burhan dan Pak Samsuri doang? Kalau Pak Soleh?"
"Katanya sih, cuma Pak Burhan dan Pak Samsuri doang. Soalnya kebetulan waktu mereka lagi keliling."
"Itu ceritanya beneran atau bohongan, Bu?"
"Ya beneran lah, yang bilang kan Pak Samsuri dan Pak Burhan. Apalagi Pak Burhan orang kepercayaan Bapak."
"Bukan cerita bohongan, kan, Bu? Soalnya dulu pernah ada janda yang difitnah suka menggoda suami orang, tahu-tahu ternyata dia yang digoda," ucapku sambil terus menyetir mobilku dengan pelan.
"Ya, kalau itu sih ibu gak tahu," ucap Ibu langsung membuang muka dariku.
Tak berselang lama, sampailah kami di depan rumah Pak Soleh. Di sana sudah ada beberapa warga yang menjenguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]
Horor⚠TRIGGER WARNING⚠ ⚠KONTEN 18+!⚠ Semenjak kematian suami Ayu, warga desa diteror dengan berbagai kematian, seperti kematian Pak Rohyan dan Pak Cetol. Mereka berdua adalah orang-orang kepercayaan Pak Kades. Pak Rohyan mati digorok oleh orang tak diken...