Bab 23. Kematian Pak Tentara dan Bu Bidan

783 83 0
                                    

Aku melihat Pak Tentara dan Bu Bidan menggotong semua barangnya masuk ke mobilnya. Mereka terlihat tergopoh-gopoh sampai tak memperhatikan kehadiranku. "Pak Tentara mau ke mana?" tanyaku.

"Eh, iya. Ini bapak dan ibu mau pindahan."

"Kok mendadak banget, Pak?"

Pak Tentara tak menjawabku dan segera membawa masuk semua barang-barangnya dibantu Bu Bidan.

"Mau saya bantu, Pak?"

"Tidak usah."

Usai semua masuk, Pak Tentara dan Bu Bidan menyalamiku.

"Jaga dirimu baik-baik, ya Dam," ujar Bu Bidan.

"Iya, Bu. Terus yang gantiin Ibu siapa?" tanyaku.

"Ada bidan baru yang gantiin ibu. Dia bakal datang ke sini dua hari lagi." Bu Bidan kemudian memelukku dan membisikkanku sesuatu. "Kalau kamu merasa ada sesuatu yang aneh dengan desamu, segeralah pergi yang jauh dan jangan pernah kembali. Mereka sudah tak sama lagi."

Aku melepaskan pelukan Bu Bidan dan menatap kedua matanya yang berkaca-kaca. "Iya, Bu."

Usai berpamitan denganku, Pak Tentara dan Bu Bidan segera berlalu dari hadapanku. Semoga saja di tempat yang baru mereka menemukan ketenangan dan kebahagiaan lagi.

Dua jam kemudian ...

Rumah Pak Tentara kedatangan beberapa orang. Salah satu di antaranya memasang bendera kematian. Aku bisa melihat dengan jelas karena rumahnya berseberangan dengan rumahku dan hanya berbeda satu rumah.

"Bu, kok ada bendera kematian di rumah Pak Tentara? Siapa yang meninggal?" tanyaku kepada Ibu.

"Pak Tentara dan Bu Bidan. Katanya mereka kecelakaan ketabrak truk. Jenazahnya sekarang masih di rumah sakit dan yang di rumahnya itu pihak keluarga Pak Tentara dan Bu Bidan."

"Hah?" Aku tercengang mendengar jawaban Ibu.

"Kok hah? Namanya juga ajal gak ada yang tahu," kata Ibu membenahi kerudungnya. "Ibu takziyah dulu," ucap Ibu sambil membawa nampan yang tertutup kain baru.

Pak Tentara dan Bu Bidan meninggal? Bagaimana bisa? Padahal baru tadi kami bertemu dan mereka sudah dipanggil terlebih dahulu oleh Yang Maha Kuasa.

Aku segera mengganti pakaianku dan segera menuju ke rumah Pak Tentara untuk menyampaikan belasungkawa, sekaligus menunggu kedatangan jenazah mereka.

Di saat aku menunggu, tiba-tiba aku mendapat sebuah pesan dari nomor tak dikenal.

[CHAT]

Nomor tak dikenal: "Apa benar ini nomor Damar?"

Damar: "Betul."

Nomor tak dikenal: "Saya adik Pak Mansyur. Bisa temui saya di kamar kamar kakak saya? Ada hal yang ingin saya sampaikan."

Damar: "Tentang apa?"

Nomor tak dikenal: "Tentang kecelakaan kakak saya."

Damar: "Sepertinya jangan bicara di sini. Di tempat lain saja yang tak diketahui orang banyak."

Nomor tak dikenal: "Di mana?"

Damar: "Nanti saya kirim posisinya."

Nomor tak dikenal: "Baiklah."

[END CHAT]

***

Aku menunggu adik Pak Tentara di alun-alun. Tak berselang lama, seorang lelaki muda berbadan tegap mengetuk pintu mobilku. Ia memakai pakaian serba hitam dan topi yang senada dengan pakaiannya. Aku membiarkan masuk dia dan duduk di samping kiriku. Aku mulai menyetir mobil dan meninggalkan alun-alun.

Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang