Bab 18. Putus

835 88 0
                                    

Ibu datang sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh. Ia kemudian meletakkan di hadapan kami masing-masing.

"Dikutuk gimana?" tanya Ibu ikut menimbrung. "Desa ini aman-aman aja kok."

"Maksud Damar, apakah desa ini dikutuk karena kedatangan Damar, Bu?" tanyaku.

"Huss! Kamu ini apa-apaan sih? Gak boleh ngomong gitu," jawab Ibu.

"Damar cuma heran aja, kenapa kebetulan banget? Kadang Damar jadi mikir, Bu, apa Damar pernah melakukan dosa yang amat besar sampai-sampai seseorang mengutuk Damar?"

Ibu melirik kepada Bapak yang sedang menyeruput teh hangat buatan Ibu. Bapak pun membalasnya dengan turut melirik ke arah Ibu.

"Itu cuma kebetulan aja, Dam," ucap Bapak meletakkan cangkir tehnya di meja. "Apalagi bentar lagi mau pemilihan Kepala Desa, jadi hal kayak gini biasa aja. Mungkin ini salah satu strategi dari musuh bapak untuk menciptakan teror agar warga desa tidak memilih bapak di pemilihan selanjutnya. Mau tidak mau, bapak harus segera menemukan dan menghabiskannya. Jika tidak, dialah yang akan menghabisi bapak."

"Memangnya siapa yang Bapak curigai?" tanyaku.

"Ada empat orang, Santos, Burhan, anaknya Nugroho, dan ...." Bapak melirikku. "Ayu."

Aku langsung mengernyitkan dahi usai mendengar nama-nama orang yang dicurigai Bapak. "Kenapa Bapak berpikir Pak Burhan akan menghabisi Bapak? Bukannya dia orang kepercayaan Bapak? Apalagi Ayu? Buat apa dia mau menghabisi Bapak juga? Lagian, kayak gak beralasan aja Bapak curiga sama mereka, okelah kalau Pak Santos dan Pak Fikri, karena emang mereka sering bersinggungan dengan Bapak, tapi ini Pak Burhan dan Ayu, Pak, kenapa pikiran Bapak bisa sampai ke mereka?" tanyaku kepada Bapak.

Bapak terlihat sangat tenang. Lalu ia kembali menyeruput tehnya. "Sesuai dengan dugaan Bapak, kamu pasti akan mempermasalahkan hal itu." Bapak kemudian menatap ke arahku dan menepuk bahu kananku. "Dam, musuh itu bisa siapa saja. Tak terkecuali keluarga sendiri. Kenapa bapak curiga dengan Burhan? Karena dia suka berbuat onar. Bapak diberi tahu oleh mata-mata bapak kalau dia hendak membunuh bapak saat sedang menyusuri sungai mencari jasad Ajeng. Lalu, yang kedua, Ayu. Bapak curiga dengan dia karena akhir-akhir ini dia mendekatimu. Kata mata-mata Bapak, hampir tiap tengah malam kamu sering ke rumahnya. Itulah alasannya, bapak takut jika dia hanya memanfaatkanmu."

"Mata-mata?"

"Iya."

"Siapa, Pak?"

"Kau tak perlu tahu." Bapak kemudian beranjak dari duduknya dan menuju ke depan televisi untuk menonton berita. Bapak seakan-akan sengaja membuatku penasaran.

Otakku tiba-tiba tertuju kepada Pak Soleh, karena selama ini dialah yang sering ronda malam. Bahkan aku juga pernah bertemu dengannya usai dari rumah Ayu. Apa mungkin mata-mata Bapak itu Pak Soleh? Tapi mana mungkin? Bapak saja tak terlalu akrab dengannya, ditambah Bapak juga masih ada masalah dengan Pak Soleh terkait pembagian lahan sewa di sawah Pak Soleh.

***

Aku mengisap vape milikku untuk mengurangi beban pikiranku. Hari ini aku benar-benar dibuat lelah.

Saat sedang mengisap vape, aku mendadak teringat dengan cincin akik yang kutemukan di depan rumah got Ayu. Kira-kira siapakah pemiliknya dan mengapa bisa ada di sana?

Aku terduduk dari tidurku. Kutatap langit kamar yang sudah gelap. Kakiku berjalan menuju meja belajarku. Aku kemudian duduk di atas kursi sambil menikmati hujan dari jendela kamarku yang belum berhenti sejak pukul 11 malam tadi.

Sial, aku lupa sama Felicya. Tadi kan aku sedang mencharge ponselku. Bisa-bisanya aku lupa dengannya.

Aku pun langsung menghidupkan ponselku. Ada kurang lebih 30 kali panggilan tak terjawab dari Felicya. Aku juga mendapatkan chat spam darinya sebanyak 121. Di bagian akhir ia menulis: "KITA PUTUS!" hanya karena aku tak segera membalas mengangkat teleponnya dan membalas chatnya.

Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang