Aku kembali menemui istri Pak Cetol terkait batu akik yang diduga miliknya. Sayangnya, rumah Pak Cetol tertutup rapat dan tak ada seorang pun di sana. Salah satu tetangga kami datang dan dia mendekatiku.
"Mau cari Bu Inah, ya, Mas?" tanya Pak Ali.
"Iya, Pak, orangnya ke mana ya?" tanyaku kepada Pak Ali.
"Dia dan anak-anaknya ke rumah ibunya di Madura," ucap Pak Ali.
"Oh, gitu ... kira-kira kapan dia pulang, ya?"
"Kurang tahu, Mas. Mungkin seminggu lagi atau mungkin gak pernah kembali, soalnya kabarnya gitu, katanya dia mau kembali aja ke Madura, ditambah dia kan di sini gak punya saudara, Mas, anak-anaknya pun masih kecil ..."
"Bapak punya nomor telepon istri Pak Cetol gak ya?"
"Enggak, Mas. Istrinya kan tertutup sekali."
"Baiklah, Pak. Terima kasih."
Aku kembali ke rumah membawa kekecewaan, karena hari ini tak berhasil bertemu dengan istri Pak Cetol. Padahal aku berharap sekali bisa bertemu dengannya dan menanyakan tentang batu akik itu. Kira-kira kepada siapa lagi aku bertanya? Bertanya kepada Bapak tidak mungkin, Bapak pasti langsung curiga kepadaku. Apalagi Pak Burhan, Ibu, Dewi, Ari ... iya Ari. Aku bisa minta bantuan dia. Dia kan yang pegang data-data warga di sini. Pasti dia mau membantuku mencarikan nomor telepon istri Pak Cetol.
***
Aku duduk berhadapan dengan Ari. Di tanganku sudah ada beberapa camilan yang dibungkus kresek. Sementara itu, Ari masih terus saja fokus dengan laptopnya.
"Ini buat kamu, Ri," ucapku sambil menjulurkan camilan-camilan itu kepadanya.
"Mas ada perlu apa? Kok tiba-tiba ngasih camilan ke aku dan bela-belain bawa ke sini? Mas Damar kan bisa kasih di rumah?"
"Aku mau minta bantuan kamu, Ri," ucapku tanpa harus ketahuan dalam menyampaikan maksudku, karena ruangan Ari berbeda dan hanya ditempati oleh dia sendiri.
"Apa?" Ari terhenti dari pekerjaannya dan menatap kedua mataku.
"Aku mau minta nomor istri Pak Cetol."
"Buat apa?"
"Ya gak ada."
"Kalau gak ada kenapa minta nomornya ke aku?"
"Kamu ini kayak wartawan aja, ya, Ri," ucapku tertawa kecil supaya bisa mencairkan suasana.
Ari menatapku dengan serius. "Kenapa Mas Damar gak minta ke Bapak aja? Aku cuma punya nomor Pak Cetol, itu pun nomornya sudah tidak bisa dihubungi, mungkin ikut hilang saat dia dibunuh ..."
Aku langsung memotong pembicarannya. "Um ... maksudku, kamu cariin nomornya di laptop kamu. Kamu kan yang pegang data-data warga di sini."
Ari melirik ke arah camilan yang kuberikan. Lalu ia menyeretnya ke arahku. "Mohon maaf, Mas. Saya gak bisa. Saya sudah diamanahi oleh Bapak dan warga desa, jadi saya gak mungkin menyebarluaskan data-data mereka."
"Aku kayak orang lain aja, Ri. Sebentar aja Ri, cuma minta nomornya doang."
Ari menggeleng dan ia melanjutkan pekerjaannya. Lagi-lagi percuma aku minta bantuan kepada dia. Padahal aku sebelum masuk ruangannya sudah feeling kalau Ari tidak akan memberikan nomor istri Pak Cetol. Emang bener apa kata orang, jangan pernah mau ngajak keluarga Pak Kyai melakukan perbuatan buruk, pasti akan ditolak mentah-mentah.
"Mas!" ucap Ari tiba-tiba.
"Apa?"
"Aku memang gak bisa kasih nomor Bu Inah, tapi kayaknya aku pernah nyimpen nomor anaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]
Horror⚠TRIGGER WARNING⚠ ⚠KONTEN 18+!⚠ Semenjak kematian suami Ayu, warga desa diteror dengan berbagai kematian, seperti kematian Pak Rohyan dan Pak Cetol. Mereka berdua adalah orang-orang kepercayaan Pak Kades. Pak Rohyan mati digorok oleh orang tak diken...