Bab 4. Kasus Kematian Ardi

1K 113 9
                                    

Acara tasyakuran pun usai. Semua orang sudah kembali ke rumah masing-masing. Kini, aku kembali menunggu kedatangan Ayu dan Ardi dari balik jendela kamarku. Lampu kamar telah kumatikan seperti dulu tiap aku ingin mengintai Ayu dari rumahku. Ah, aku jadi malu kalau diingat-ingat. Apalagi dulu aku gak sengaja melihat tubuhnya yang hanya memakai tanktop dan celana pendek sepaha. Rasanya aku jadi laki-laki termesum waktu itu.

Tak lama kemudian, Ayu dan suaminya datang. Ayu membawa sebuah kresek berwarna hitam. Ia kemudian masuk ke rumahnya usai pintu rumahnya terbuka. Sementara itu, Ardi tengah berusaha memasukkan sepeda motornya. Tiba-tiba, seseorang berpakaian hitam membekap mulutnya dari belakang dan langsung menggorok lehernya. Darah segar bercucuran deras dari lehernya. Sontak aku kaget bukan main dan segera bersembunyi karena khawatir pembunuh itu melihatku.

"AAAAAAA!"

Aku mendengar teriakan Ayu. Sangat kencang dan semakin kencang. Kuintip sedikit dari jendelaku, masih tak ada orang yang datang menolong. Kulihat juga si pembunuh itu sudah pergi. Setelah pembunuh itu pergi, aku pun segera berlari menuju rumah Ayu.

Sesampainya, aku tak melihat satu pun orang yang datang menolong. Mereka terkesan cuek kepada salah satu tetangganya, termasuk Bapakku yang tak pernah kunjung datang.

Aku pun segera membuka kaosku dan menutup luka di leher Ardi. Sementara itu, Ayu hanya menangis sambil memangku kepala suaminya di pahanya.

Dari kejauhan aku melihat Ozil datang sambil membawa senter. Lalu ia berteriak minta tolong. "TOLONG! TOLONG!" Seketika, semua orang berhamburan keluar karena Ozil. Ekspresi mereka biasa saja saat melihat Ardi yang sedang sekarat. Mereka pun tak ada empati sedikitpun kepadanya.

Tangan Ardi mencengkeram tanganku dengan kuat. Lalu, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan istrinya. Aku tak melihat air mata yang jatuh lagi dari mata Ayu. Ayu hanya tertunduk lemah. Ia kemudian meletakkan kepala Ardi di teras dan masuk ke dalam rumahnya.

"Mampus, si pedofil sudah mati," bisik salah satu tetangga.

"Duh, habis si pedo mati, gimana ya nasib si orgil itu?" bisik lainnya.

"Syukur deh dia mati."

Aku pun langsung berdiri mendengar cemoohan mereka. "Pak, Bu, kalau gak bisa berempati, bisa diem aja gak? Ini ada orang lagi berkabung. Saya tahu Ardi pernah jahatin orang, tapi inget, dia punya istri dan istrinya sedang bersedih."

Seketika mereka pun terdiam dan memilih untuk kembali ke rumah mereka. Kini, tinggal hanya aku, Ozil, Pak Soleh dan Ahmad.

"Gila ya orang-orang sini!" gerutuku.

"Udahlah, sekarang kita siapin air, sabun, dan papan, habis itu kita mandiin dia," ujar Pak Soleh, hansip tertua di desaku yang umurnya kini hampir 100 tahun. Meskipun begitu, dia terlihat masih sangat kuat dan sehat.

"Mas, Mas Ardi digorok atau menggorok lehernya sendiri?" tanya Ozil sambil menoel lengan kananku.

"Dia dibunuh!" Ayu tiba-tiba datang sambil membawa beberapa lembar kain. Lalu ia menutup tubuh suaminya dengan kain-kain itu. "Jangan sentuh tubuh suamiku. Biarkan aku yang memandikannya. Pergi saja kalian dari sini."

"Ay, sebagai orang bertuhan, kita wajib membantu sesama, apalagi saat ada tetangga yang sedang kesusahan," ujar Ahmad. "Biar kami bantu kamu, ya."

"Bener, Mbak. Apalagi Mas Ardi udah baik sama aku. Jadi aku mau ikut mandiin dia untuk terakhir kalinya," ujar Ozil.

Bu Lik Mayang tiba-tiba datang dan langsung menjewer telinga Ozil. "Kamu ini ya bilangnya cuma lima menit, tapi ini udah lima menit lebih. Sini, pulang!"

"Aduh, Bu! Sakit!" Ringis Ozil.

"Bu Lik, udah. Jangan. Ozil bakal pulang kok," ucapku.

Mendengar itu, Bu Lik Mayang melepaskan tangannya dari Ozil. "Kamu pulang gih! Besok Mas Damar kasih uang 100 ribu," ucapku.

Ozil menggeleng. "Gak mau."

"Kalau 200?"

"Gak mau."

"500 ribu?"

"Tetap gak mau. Kenapa sih kalau ada apa-apa selalu pakai uang. Aku di sini cuma mau mandiin dan nguburin Mas Ardi doang. Ini juga sebagai bentuk balas budi aku karena dia udah banyak bantu aku."

"Ya udah, kalau kamu maksa, kamu tidur di luar dan uang saku kamu dipotong selama seminggu." Ancam Bu Lik.

"Oke! Siapa takut?"

"Bener-bener batu kamu ini, ya. Awas aja, kalau bapakmu pulang dari ngerantau bakal ibu laporin!"

"Gak boleh gitu, Bu Lik. Bu Lik kan batu juga," balasku kepada Bu Lik Mayang.

"Damar!" Bu Lik Mayang pun segera berlalu meninggalkan kami. Sementara itu, Pak Soleh, Ahmad, dan Ayu berusaha mengangkat tubuh Ardi untuk segera dimandikan.

"Ay, biar aku saja."

Mata Pak Soleh dan Ahmad langsung tertuju pada tangan Ayu yang bersentuhan langsung dengan tanganku.

"Dam, jangan lama-lama pegangnya. Meskipun Ayu sudah janda, tapi dia belum benar-benar janda sampai masa iddahnya selesai," ujar Pak Soleh.

"I-iya, Pak. Maaf."

"Ay, Pak Soleh minta kain lagi yang lebih bersih. Ini nanti buat ngeringin," ucap Pak Soleh beralih kepada Ayu. Ayu pun mengangguk lemah.

"Habis ini Damar minta kain kafan ke marbot masjid. Biar yang memandikan Ardi kami berempat."

"Baik, Pak," ucapku.

Aku menoleh ke arah Ayu yang sedari tadi terdiam. Lalu, ia terlihat berjalan sempoyongan. Sontak, aku berlari menolongnya yang hampir ambruk. "Kamu gak apa-apa kan?"

Ayu segera melepaskan tanganku dan menuju kamarnya. Ia kemudian membuka lemari kamarnya dan berusaha mengambil kain di bagian paling atas.

"Biar aku saja yang ambilin." Tawarku. Aku pun langsung mengambilnya. "Butuh berapa? Di sini cuma ada empat kain jarik, Ay."

"Semuanya," ujarnya lirih.

Aku pun mengambil semua kain yang dikatakan Ayu.

"Pakailah ini," ucap Ayu memberikanku satu buah kaos milik Ardi yang ditata rapi di lemarinya. Kemudian ia berlalu meninggalkanku usai mendapatkan kain jarik miliknya.

Aku mengekor di belakang Ayu dan sampailah di depan teras rumahnya. Ia kemudian bergabung untuk memandikan jenazah suaminya.

"Air mataku memang sudah mengering, tetapi cintaku tetap tumbuh untukmu, Sayang. Meski jasadmu telah tiada, tetapi cintamu akan terus hadir bersamaku. Aku sayang kamu, Mas." Air mata Ayu tiba-tiba mengalir membasahi wajah Ardi. Terlihat begitu besar cinta yang diberikan Ardi kepada Ayu. Aku jadi meragukan diriku sendiri, apakah benar Ardi adalah orang jahat? Apakah benar juga Ayu gila? Tapi kenapa semua terlihat bertolak belakang? Ada apa sebenarnya yang terjadi? Ini membuatku semakin pusing saja.

Air pun mulai dialirkan ke tubuh Ardi. Darah miliknya pun ikut mengalir bersama air. Di sisi lain, tak tega rasanya aku melihat Ayu seperti itu. Ingin sekali aku memeluknya dan menenangkannya seperti Ardi, tapi apa daya diriku? Benar apa kata Pak Soleh, memang Ayu sudah jadi janda, tapi dia tidak benar-benar janda sebelum masa iddahnya selesai.

"Saya ambil kain kafan dulu, ya," ucapku kepada Pak Soleh.

"Iya."

***

Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang