Bab 15. Hamil

1K 87 0
                                    

Aku pamit pulang kepada Ayu pagi itu. Udara pagi sangat dingin dan membuat tubuhku sedikit bergetar. Melihat Ayu yang terdiam menunduk, aku langsung mengecup bibirnya dan kupeluk tubuh mungilnya untuk mengurangi dingin yang mulai merasukiku. Kedua bola matanya kutatap dengan penuh arti. Kurasa sudah cukup pertemuan kami kali ini. Meskipun aku masih ingin terus bersama dengannya, aku harus tahu batasan, walau sering kebablasan. Ayu masih menjadi istri orang.

Aku pulang melewati pintu belakang dapurnya. Dengan langkah pelan, aku berhati-hati agar tidak menginjak jebakan tikus. Saat aku melewati pekarangan rumah Ayu, aku mencium bau yang sangat busuk di sekitar gentong. Mungkin itu adalah bangkai tikus. Tak sengaja kakiku juga menginjak tulang belulang yang berserakan di dekat batas pekarangan Ayu.

"Mas, ada apa?" tanya Ayu menghampiriku.

"Oh, enggak, Ay, ini aku kayaknya nginjek tulang."

"Oh, itu tulang sapi, Mas. Habis ini aku buang."

"Iya, sekalian minta tolong cari bangkai tikus. Aku nyium di sekitaran gentong."

"Iya, sekalian itu juga akan kubuang."

Aku lekas-lekas beranjak pergi dari rumah Ayu. Hujan tengah malam tadi rupanya telah membuat jalanan menjadi basah. Kakiku juga berkali-kali tak sengaja menginjak genangan lumpur. Saat aku hendak menuju rumah, aku bertemu Pak Soleh yang sedang ronda malam. Ia sendirian sambil ditemani senternya yang sudah ada sejak aku masih kanak-kanak. "Dari mana, Dam?"

"Ohh, ini Pak, saya ... saya lagi lari pagi," ucapku sambil menggerakkan tubuhku seperti sedang berolahraga.

"Sepagi ini?"

"Iya, Pak Soleh gak tahu ya kalau saya suka lari pagi di jam-jam segini. Soalnya hawanya menyegarkan," ucapku sambil menghirup udara pagi.

"Oh, baiklah." Pak Soleh menatapku cukup lama. Lalu, ia melanjutkan, "Lain kali kalau pakai baju yang bener ya. Tuh, bajumu kebalik. Sama satu lagi, kalau pakai celana pakai yang warnanya gelap aja."

Aku langsung tertuju kepada celanaku. Warnanya memang sangat ngejreng, yaitu berwarna biru muda. Ditambah bagian bawahku juga basah. Sehingga bisa terlihat dengan jelas oleh mata.

"I-iya, Pak," ucapku malu-malu.

"Ya sudah mandi, gih. Bentar lagi mau Subuh," ujar Pak Soleh yang kemudian berlalu meninggalkanku.

***

Ajeng datang ke rumahku sambil membawa satu buah rantang di tangannya. Kakinya terhenti di teras rumahku, lalu ia menoleh ke arahku yang diam-diam memperhatikannya dari jendela kamarku. Ajeng pun tersenyum ke arahku dan langsung masuk ke dalam rumah yang terbuka lebar. Di balik pintu kamar, aku mendengar Ibu memuji Ajeng karena berhasil membuat nasi kuning untuk dibagi-bagi.

"Coba Bu Dhe, semoga suka," ujar Ajeng.

"Ih, kok kamu manggilnya Bu Dhe, panggil ibu saja, kamu kan sudah ibu anggap anak sendiri."

"Iya ... um, Mas Damar ada Bu?"

"Ada. Bentar, ya."

Pintu kamarku terketuk. Aku pun langsung membukanya. Kulihat Ibu sedang berdiri sambil membawa rantang di tangannya.

"Ada Ajeng," ujar Ibu.

"Iya, aku udah tahu."

"Jeng ...," panggil Ibu. "Ayo masuk ke kamar Damar. Kayaknya lebih baik ngomongnya di dalem aja."

"Iya, Bu."

Ajeng pun masuk ke kamarku dengan langkah malu-malu dan dia duduk di atas ranjangku. Lalu Ibu hendak menutup pintu, tetapi segera kucegah. "Biarkan pintunya terbuka, Bu. Takut ada fitnah."

Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang