Bab 40. Akhir Yang Bahagia

819 85 0
                                    

Kakiku sudah sangat lelah karena berlari cukup jauh. Kakiku pun terhenti saat aku melihat ada sesuatu yang terbakar dari arah desaku. Apa mungkin mereka telah membakar rumahku?

Dari arah depanku, ada mobil yang menuju ke arahkum Aku segera bersembunyi di balik pohon. Aku harus berhati-hati, karena bisa saja itu adalah salah satu dari warga desa yang hendak membunuhku.

Air mataku tiba-tiba menetes. Dadaku sangat sesak. Kenapa aku harus meninggalkan desaku dengan cara seperti ini?

Aku tak boleh seperti ini. Aku harus terus berjalan meninggalkan desa yang selama ini telah memenuhi masa-masa kehidupanku.

Sebuah motor tanpa lampu tiba-tiba terhenti tepat di depanku. Seorang lelaki berhelm turun dan memperhatikanku dengan seksama. "Kamu Ayu, ya?" tanya lelaki paruh baya tersebut.

"Bukan. Saya tak kenal dengan dia."

Lelaki paruh baya itu kemudian mengambil ponselnya. Aku merasa ada yang tak beres dengannya. Aku pun segera bergegas pergi darinya.

"Hey! Kau Ayu!" teriaknya sambil mengejarku dengan motornya. Ia tiba-tiba menarik tasku dari belakang dan membuatku jatuh terjungkal. "Ayo ikut aku! Kau harus kuberikan kepada Pak Kades!"

"Lepaskan aku!" teriakku. "Dia membayarmu berapa untuk menangkapku?"

"Aku menangkapmu karena kau telah membunuh orang-orang tak berdosa. Kau harus dihukum!" ujarnya.

"Lepaskan! Mereka orang jahat! Kau tak tahu apa-apa."

"Aku tahu semuanya karena aku adalah anak Burhan, anak yang bapaknya dibunuh olehmu!"

Mataku terbelalak lebar. "Kamu Heru?"

"Iya. Sekarang ayo ikut aku!"

Heru terus menarikku dengan tangannya dan berusaha menangkapku. Aku pun melepaskan tasku dan berlari yang kencang. Sementara itu, Heru terus mengejarku dengan motornya.

Aku tak mungkin terus berjalan mengikuti jalan ini. Aku harus memotong jalan. Satu-satunya jalan adalah harus melewati jurang yang ada di sebelah kananku.

Aku pun berlari menuju jurang dan segera turun ke bawahnya. Aku tak peduli lagi, terpenting aku bisa selamat. Jika Heru berhasil menangkapku, bisa tamat riwayatku.

Dari atas, kulihat Heru menghentikan motornya dan menelepon seseorang. "Halo, Pak. Aku menemukan Ayu. Dia sekarang kabur menuju jurang. Ini aku ada di sebelah Selatan desa." Heru mematikan ponselnya dan bergegas menuju ke arahku.

Sialan! Dia mengikutiku.

"Kemarilah perempuan gila. Akan kutangkap kau dan kupotong tubuhmu seperti kau memotong tubuh bapakku."

Aku terus berlari di antara kegelapan. Aku tak peduli lagi dengan adanya dedemit. Aku bahkan berkali-kali harus menabrak pohon karena kurangnya cahaya. Sementara itu, kulihat senter Heru terus menuju ke arahku. Aku langsung melihat ke bawah. Sial, pantas saja Heru tahu keberadaanku, karena dia tahu dari jejak kakiku.

"Kau tak akan kubiarkan lolos!" teriaknya.

Kakiku tersandung pada sebuah akar pohon. Kakiku menjadi sangat sakit dan sepertinya aku terkilir.

"Ah! Sialan, kakiku!" ringisku kesakitan. Aku pun bersembunyi di balik pohon besar. Aku tak mungkin terus berlari karena kondisi kakiku ini. Kenapa sih kesialan ini harus datang di waktu tak tepat?

"Janda gila. Di mana kamu?"

Aku berusaha sekuat tenaga terus bersembunyi agar tak ketahuan oleh Heru.

Seseorang yang lain tiba-tiba datang ke arah Heru. Apakah mungkin itu adalah bajingan itu?

"Di mana Ayu?" Aku mendengar suara Mas Damar yang bertanya kepada Heru.

"Damar? Apa kamu masih inget sam ...."

Belum sempat Heru melanjutkan, langsung Mas Damar potong. "Di mana dia?"

"Dia tadi di sekitar ini. Ini apa? Bajumu kok banyak darahnya?"

Mas Damar langsung mengambil pisau yang ia sembunyikan di belakang punggungnya dan langsung menyabet kedua betis kaki Heru.

"Aaaaaaaa!" teriak Heru sambil memegangi kedua kakinya yang terus mengeluarkan darah. "Kenapa kau melakukan ini kepadaku? Apa salahku?" Heru jatuh tersungkur di antara dedaunan kering.

Mas Damar langsung mendekatkan wajahnya ke arah Heru sambil menodongkan pisau ke arah lelaki yang sedang merintih kesakitan itu. "Salahmu? Kau masih bertanya apa salahmu? Karena kau tidak becus menangkap Ayu!"

"Aku sudah hampir menangkapnya, Tap-tapi kau datang dan ...."

"Dan apa?"

"Di-dia ... dia tadi ada di sekitar sini."

Mas Damar langsung memperhatikan sekitarnya. Dia melihat tanah yang dipijak dan mengikuti jejak kaki milikku. "Ayu, di mana kau? Keluarlah sekarang!"

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kenapa Mas Damar mendadak bengis seperti itu? Jika ia tega menyabet kaki Heru, lalu bagaimana denganku? Aku harus bagaimana sekarang?

Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan membekap mulutku dari belakang. Aku meronta dan terus memukuli orang yang membekapku itu.

"Ssst! Ini aku! Damar."

Aku langsung menoleh. Kulihat Mas Damar sambil membawa pisau di tangannya. Aku pun terjatuh dan berusaha menjauh darinya sambil berjalan ke belakang. "Kumohon tinggalkan aku! Jangan bunuh aku!" pintaku kepadanya.

Mas Damar menangkapku. Ia lalu mengangkatku dan membopongku. "Aku tak akan pernah melakukan itu. Aku sudah tahu semuanya."

Aku terkesiap mendengar jawaban Mas Damar. "Mas Damar tahu semuanya? Yang bagian mana?"

"Semuanya."

"Lalu, mau Mas sekarang apa? Memberikanku kepada iblis itu?" Aku menggeleng. "Tidak Mas. Aku tak mau. Aku lebih baik mati di tangan Mas Damar daripada mati di tangannya."

Mas Damar memelukku. "Aku tak akan pernah menyerahkanmu kepada bajingan itu, Ay." Mas Damar kemudian melepaskan pelukannta dariku dan kembali berujar, "mari kita pergi dari sini. Pergi yang jauh dan jangan pernah kembali lagi."

"Baik, Mas."

Dari arah belakang Mas Damar aku melihat Heru berjalan sambil membawa batu besar dan hendak memukul kepala Mas Damar. Sontak, aku langsung menarik tubuh Mas Damar ke arah kanan. Heru pun terjatuh ke depan. Melihat itu, Mas Damar langsung berdiri dan mengambil batu besar di tangan Heru. Kedua mata Mas Damar mendadak gelap mata.

"Matilah kau keparat!" Mas Damar langsung memukul-mukul batu itu tepat di wajah Heru sampai terdengar suaranya seperti suara kucing yang dipukul. Wajahnya pun hancur lebur dan tak dapat dikenali lagi. Heru pun mati di tangan Mas Damar.

"Mas, sudah! Ayo kita segera pergi dari sini. Iblis itu akan segera menuju ke arah sini!"

Mas Damar langsung tertuju ke arah Utara. Ia melihat obor yang menyala-nyala tengah menuju ke arah kami. Kami pun langsung pergi menuju ke arah Selatan.

"Sebentar Ay!"

"Kenapa Mas?"

"Aku harus mengambil tasmu dulu."

"Sudah, Mas. Jangan pikirkan itu dulu. Terpenting sekarang kita selamat."

"Tasmu ada di sekitar sini. Aku tadi sempat membawanya." Mas Damar mencoba mencari keberadaan tasku di sekitarnya.

"Ayo, Mas."

"Ketemu!" Mas Damar menemukan tas itu tak jauh dari tempat kami. Kami pun langsung terus berlari menuju arah Selatan tanpa menoleh ke arah belakang.

Ya, sudah saatnya ini semua berakhir. Hari ini dan untuk selamanya aku akan hidup bahagia bersama Mas Damar.

***

Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang