Bab 22. Mayat Tanpa Kepala

787 82 0
                                    

Sudah hampir dua hari aku tak berpapasan dengan Ayu. Bahkan aku juga tak memperhatikannya lagi lewat jendela kamarku. Meski kadang aku ingin menemuinya, tetapi rasa sayangku mengalahkan segalanya. Aku tak mau jika warga desa berpikir aneh-aneh kepada kami, apalagi Ayu yang sudah menjadi janda, sebab di desaku para janda masih dianggap penggoda laki orang, meski sebenarnya yang menggodanya adalah laki-laki itu sendiri. Aku dulu ingat saat ada seorang janda yang diusir karena diduga menggoda salah satu anak buah Pak Nugroho. Padahal, kata Ibu, anak buahnyalah yang menggodanya dan hampir melecehkan janda itu. Akhirnya janda itu diusir secara paksa dari desa ini. Itulah kenapa janda muda yang baru ditinggal suaminya meninggal atau habis cerai hidup lebih memilih menikah lagi atau bekerja ke kota, sebab stigma janda "si penggoda" masih sangat kental dirasa sampai sekarang.

"Aku kayaknya mau memperpanjang masa tinggalku di sini, Mas," ucap Ozil yang membuyarkanku. Aku melirik ke arah Bapak yang tengah fokus menonton berita.

"Hah?"

"Iya, aku mau tinggal di sini aja buat sementara waktu, aku pusing tiap kali Ibu ngomel-ngomel. Tadi aja waktu aku mau ambil pakaianku aku diomelin karena gak pulang-pulang, padahal kan ibu sendiri yang ngusir aku."

Bapak yang sedari tadi menonton berita ikut menimbrung. "Ya, gimana ibumu gak ngomel, kamu aja kerjanya main game terus. Coba sekali-kali bantu ibumu masak, cuci baju, beli sayur. Pasti ibumu gak bakal ngomel lagi."

"Di rumah aku udah ngelakuin itu semua, kok. Bahkan yang benerin genteng bocor aku juga. Ibu kerjanya malah cuma nonton serial India dan sinetron. Aku sendiri dijadiin babu," ujar Ozil membela diri.

Ibu datang sambil membawa pisang goreng. Lalu Ibu mengganti channel berita ke channel kesukaannya yaitu channel serial India. Untungnya Bapak tak menegurnya dan memilih membiarkannya.

"Ozil tinggal di sini aja, Pak. Selama di sini dia yang bantu-bantu ibu, kayak masak, cuci, dan nyapu," ucap Ibu sambil memakan pisang gorengnya.

"Nah, kan? Bu Dhe aja tahu kalau aku ini suamiable," ucap Ozil.

Mendengar Ozil berkata seperti, aku langsung mengeplak kepalanya. "Masih kecil udah suami-suamian. Belajar dulu yang pinter, jangan mikirin kayak gitu."

"Duh, sakit, Mas!" ringis Ozil.

Bapak segera mengusap kepala Ozil yang habis kukeplak. "Ya, kalau emang gitu silakan aja Ozil tinggal kapanpun yang kamu mau, asal kamu tetap belajar yang rajin."

Ozil langsung memeluk Bapak. "Terima kasih, Pak Dhe!"

***

Hari ini aku ikut Bapak ke Balai Desa. Aku pun tak tahu tujuanku ke sana. Yang terpenting ikut saja.

Sesampainya di Balai Desa, aku duduk di lobby ruang tunggu. Di sana aku hanya memperhatikan lalu lalang orang. Ada empat hingga lima orang ibu-ibu menanyakan hal yang sama kepadaku.

"Ini Damar ya? Udah punya pacar? Anak saya masih jomblo, lho."

"Jomblo Mas? Anak saya sekarang masih duduk di bangku dua SMA, kayaknya cocok deh sama Mas Damar."

Bahkan ada salah satu ibu-ibu yang menawarkanku anaknya yang baru belajar jalan. "Mas, anak saya cantik, lho. Nikah sama dia, ya."

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Kuharap ibu-ibu yang menawarkan anaknya yang baru duduk di bangku SMA hanya bercanda saja. Apalagi ibu-ibu yang terakhir menawarkan anaknya yang berjalan saja masih dibantu ibunya. Dikira aku pedofil yang suka sama anak-anak di bawah umur? Iya kalau umurnya sudah legal ya tidak masalah meski umurnya di bawahku. Kalau masih di bawah umur, BIG NO! Sekalipun anaknya terlihat dewasa dan keibu-ibuan.

Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang