Bab 20. Batu Akik

780 77 0
                                    

Aku kembali membawa pulang Cemong, si kucing kampung yang sukanya makan dan tidur. Kata Ozil, dua tahun lalu si Cemong ditemukan di got sekolahnya tanpa induk dan dalam keadaan kurus kerontang. Itulah mengapa Ozil membawa pulang Cemong ke rumahnya dan mulai merawatnya, meski awalnya Bu Lik Mayang sempat menentang Ozil merawat Cemong, tetapi akhirnya Bu Lik Mayang menyerah juga dan membiarkan Cemong berkeliaran di rumahnya.

"Mas, ketemu di mana si Cemong?" tanya Ozil senang sambil menggendong makhluk berbulu lembut itu.

"Di belakang rumah, lagi main sama burung," jawabku sekenanya.

Ozil menatap kedua mata kucing gembul itu. Lalu ia menjitak kepala si Cemong. "Kamu ini ya nakal! Kamu gak boleh keluar lagi!"

"Meow!" Cemong hanya bisa mengeong dan menjilati tangan Ozil.

"Iya, aku maafin. Lain kali jangan diulangi, ya," ucap Ozil sambil memeluk makhluk berbulu itu.

Aku kemudian masuk ke dalam kamarku. Aku tak mau merusak momen kebahagiaan Ozil yang sempat kurusak demi menemukan "mata-mata" Bapak.

Kuambil ponselku dari dalam sakuku. Kuscroll Facebookku. Beranda Facebookku akhir-akhir ini berisi foto dan video kematian di desaku. Mereka nampak normal. Tak ada satu pun komentar atau postingan tentang kematian tak wajar dari warga yang sudah tiada. Sebuah foto saat Ajeng dimakamkan tiba-tiba lewat. Aku melihat Ayu yang tengah menyeringai di kerumunan warga, padahal waktu itu aku tak melihat batang hidungnya. Ah, mungkin saja aku yang tak memperhatikan sekitarku. Mungkin dia baru datang dan ikut mengantarkan jenazah Ajeng. Aku kembali menscroll beranda Facebooku. Sebuah foto kenangan bersama orang-orang kepercayaannya diposting oleh Bapak sehari setelah Pak Cetol dikuburkan. Bapak menulis caption "41 TAHUN LALU" dan di komentarnya banjir belasungkawa. Di komentar postingan itu pun tak menyinggung kematian tragis Pak Royhan dan Pak Cetol. Mataku tiba-tiba tertuju pada jari kanan Pak Cetol. Sebuah cincin akik berwarna biru muda bertengger di jari manisnya. Cincin itu mirip seperti cincin akik yang kutemukan di got depan rumah Ayu. Aku pun langsung menuju ke Facebook Pak Cetol. Foto-fotonya baik sendirian maupun Bapak terpampang. Bahkan cincin akik itu terus ada di jari manisnya sampai terakhir kali Pak Cetol memposting fotonya bersama Bapak saat sedang ikut sosialisasi dua minggu lalu.

Ayu.

Aku tak mau menuduh Ayu. Ayu tidak mungkin membunuh Pak Cetol. Kalau pun Ayu membunuhnya, alasan apa yang membuat dia tega melakukannya? Karena setahuku ia tak ada masalah dengan Pak Cetol.

Aku harus mencari tahu tentang ini. Aku tak boleh menuduh Ayu tanpa bukti.

***

Secangkir teh hangat tersaji di depanku. Istri Pak Cetol terlihat masih sangat sedih karena tubuh suaminya yang tak kunjung ditemukan.

"Apa Ibu tidak minta tolong bantuan polisi? Biar mereka mengerahkan anjing pelacak buat menemukan tubuh Pak Cetol," ucapku.

"Percuma Mas. Bisa-bisa saya keluar uang nanti. Dulu saja saat motor Mas Cetol hilang, kami disuruh bayar 4 juta. Padahal motor itu dibeli cuma dua juta. Ya, terpaksa kami minta bantuan Pak Kades, belum sempat sehari motor itu udah kembali," ucap istri Pak Cetol sambil menghembuskan nafas panjang. Ia kemudia menatapku dan berujar, "saya lebih percaya sama Pak Kades daripada mereka."

"Tapi kan gak semuanya kayak gitu, Bu. Masih banyak kok polisi yang jujur."

"Iya, yang jujur memang banyak, tapi banyaknya cuma bisa dihitung dengan jari."

Berhubung aku datang ke rumah Pak Cetol ingin bertanya tentang cincin akik, aku segera mengganti topik pembicaraan kami agar tidak melebar ke mana-mana.

"Omong-omong, Pak Cetol punya cincin akik berwarna biru muda gak Bu?

"Kok tahu kalau Mas Cetol punya cincin akik warna biru?" tanya istri Pak Cetol.

Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang