Ibu mendadak sakit pada keesokan harinya. Padahal Ibu sebelumnya baik-baik saja dan tak pernah mengeluh sakit.
Kini sudah enam hari Ibu sakit. Ibu menjadi sangat pendiam dan tak mau makan. Bahkan ia kini keadaannya semakin parah dan sering meracau tak jelas.
"Ay, ibu mau ngomong sama Ardi. Tolong panggilkan," ucapnya tiba-tiba saat aku sedang menyuapinya dengan bubur.
"I ... ya ...."
Aku memanggil Mas Ardi yang terlihat sedang menelepon seseorang. Wajahnya nampak murung dan tak semangat seperti biasa. Ia langsung menutup teleponnya saat melihat kehadiranku.
"Ada apa Ay?"
"I ... bu mau bica ...ra ... sama Mas Ar ... di ...."
"Baiklah."
Mas Ardi menuju ke kamar Ibu diikuti olehku. Dia kemudian duduk di samping kiri Ibu.
"Ayu, ibu minta kamu nunggu di luar ya, ibu mau ngomong sama Ardi," ucap Ibu. Aku pun mengangguk dan mengikuti perintah Ibu.
Langkahku terhenti saat sudah sampai di pintu masuk rumah. Aku mundur beberapa langkah untuk menguping pembicaraan mereka.
"Ardi, ibu minta kamu tobat kepada Allah. Perbuatan menyerupai kaum Nabi Luth itu sangat tercela. Ibu enggak mau kamu masuk neraka karena hal itu. Tolong tobat, Ar."
"Iya, Bu. Ardi juga sedang berusaha, Ardi juga sudah memutuskan untuk tidak bersama Yudha lagi."
"Syukurlah ... ibu senang mendengarnya. Ibu juga titip pesan, tolong jaga Ayu dan cintai dia. Ayu sudah gak punya siapa-siapa lagi jika ibu sudah tiada ...."
"Ibu jangan ngomong kayak gitu, Ibu pasti segera sembuh."
Suasana mendadak hening. Tak ada satu pun suara yang terucap dari mereka.
Tiba-tiba Mas Yudha memanggilku. "Ayu, kemari!"
Aku bergegas menuju ke kamar. Kulihat Ibu sedang sekarat. Nafasnya terengah-engah. Mas Ardi terus mendekatkan bibirnya ke telinga Ibu sambil mengucapkan kalimat tahlil berkali-kali.
"Laa ilaa ha illallah ..."
"Laa ilaa ha illallah ..."
"Laa ilaa ha illallah ..."
Setelah melawan ajalnya, Ibu pun terbujur kaku. Ia tak bernafas lagi dan Mas Ardi segera menutup kedua mata Ibu.
Kini Ibu sudah tiada.
"Ibu, Mas ...."
"Sini, Ay." Mas Ardi segera memelukku. "Yang sabar ya Ay, Ibu sudah tiada."
Salah satu pangkuan hidupku telah tiada. Ibu sudah tak ada lagi di hidupku.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Aku mulai mengikhlaskan kepergian Ibu. Meskipun berat aku harus bisa merelakan Ibu.
Hari demi hari keadaanku mulai membaik berkat Mas Yudha. Aku sudah mulai bisa berbicara dengan lancar dan memulai kehidupan baru. Aku juga sudah tak perlu ke psikiater dan meminum obat lagi. Setelah kematian Ibu, Mas Ardi juga sering menggodaku. Ia sering memintaku memijatinya yang akan berlanjut pada ciuman dan berakhir pada kalimat yang terlontar dari bibirnya, "aku gak tahan. Ayo kita bikin anak." Meskipun pada akhirnya miliknya susah berdiri tiap kali kusentuh.
***
Beberapa hari lagi ada pemilihan Kepala Desa baru. Calonnya adalah iblis itu dan istrinya. Mas Ardi mengajakku untuk ikut memilih, tetapi aku memilih menolaknya. Bahkan sampai hari pemilihan ia tetap membujukku. Katanya aku harus ikut memilih agar hak pilihnya tidak disalahgunakan. Aku tak mau. Aku berguling-guling di tanah agar Mas Ardi tak membawaku bertemu dengan iblis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Bajingan Dan Perempuan Gila [END]
Terror⚠TRIGGER WARNING⚠ ⚠KONTEN 18+!⚠ Semenjak kematian suami Ayu, warga desa diteror dengan berbagai kematian, seperti kematian Pak Rohyan dan Pak Cetol. Mereka berdua adalah orang-orang kepercayaan Pak Kades. Pak Rohyan mati digorok oleh orang tak diken...