Chaptr 43: resign (1)

462 40 11
                                    

Aku baru saja menyelesaikan satu pekerjaanku saat Bu Merliana datang ke mejaku. Wajahnya tenang. Dia mengajakku berbicara berdua saja membuatku kebingungan. Apa salah saya? Kenapa perasaanku menjadi tidak enak?

Beliau mengajakku ke kantin. Jam segini, karyawan masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tidak ada seorang pun yang keluyuran di kantin kecuali pedagang di kantin.

Bu Merliana memesan dua cangkir teh hangat untuknya dan untukku. Namun ia tak segera mengutarakan apa maksud tujuannya mengajakku kemari. Membuatku semakin grogi. Ingatanku berputar pada kejadian yang sama tiga tahun yang lalu. Apa ini berhubungan dengan janjiku dulu?

"Silakan diminum!" Ucapnya. Aku mengangguk kikuk. Kusesap tehku pelan. Dia juga. Dengan pandangan seolah sedang menilaiku.

"Kamu pasti bingung kenapa saya mengajakmu berbicara berdua saja." Ucapnya masih dengan pandangan menilaiku. Aku hanya tersenyum. "Baiklah. Saya bukan orang yang suka basa-basi. Lagipula ini bukan waktu yang tepat untuk berbasa-basi."

Bu, tak sadarkah engkau bahwa sekarang anda sedang berbasa-basi?

"Saya ingin membicarakan anak saya." Daegggg!!! Benar kan? Kenapa? Apakah rasa sukaku pada Mas Fandy begitu kentara sampai semua orang menyadari dan menanyakannya? Padahal aku sama sekali tak menunjukkannya. Aku juga berusaha menutupinya.

"Saya tahu, kondisinya sekarang memang kacau. Tapi saya juga tak bisa menahannya lebih lama. Saya ingin bertanya apakah kamu menyukai salah satu dari anak saya?" Aku syok. Ini pertanyaan jebakan. Aku tidak bisa menjawab iya tapi juga tidak bisa tidak.

"Em, maaf. Tidak bu. Maksud saya, saya menyukainya sebagai pribadi yang baik.  Sebagai teman, sebagai atasan. Tidak ada perasaan lainnya." Jawabku hati-hati. Bu Merliana memasang wajah tak percaya.

"Benar? Padahal sulit menolak pesona kedua anak saya. Mereka terlalu sempurna dan menarik." Ucapnya narsis. Oh, ternyata bakat narsis Pak Adit menurun dari ibunya.

"Ya, karena terlalu sempurna itu Bu, makanya saya tidak tertarik."

"Kamu tidak suka sama yang sempurna?"

"Bukan tidak suka, Bu. Tapi saya tahu diri. Saya tidak berani. Tidak mungkin orang sekelas Mas Fandy maupun Pak Adit menyukai saya." Ralatku. Bu Merliana menghela napas tak puas.

"Baiklah, saya hanya tidak ingin kedua anak saya menyukai orang yang sama. Saya tidak ingin mereka sakit hati." Heh? Menyukai orang yang sama? Maksudnya saya gitu? Heheehe...kagak mungkin lah Bu. Ibu ini halunya sudah tingkat dewa.

"Bukankah Pak Adit sudah berpacaran dengan Mbak Carrolina? Dan saya lihat kemarin, sepertinya Mas Fandy menyukai teman SMA nya."

"Oh, ya?! Tapi sebagai seorang ibu, saya bisa melihat apa yang orang lain tak bisa lihat." Ucapnya sedikit melow. Sikapnya saat ini sangat berbeda dengan yang dulu. Dulu dia dingin dan angkuh, sekarang pun masih sombong namun tidak sedingin dulu. Yang jadi pertanyaan adalah jawaban apa yang sebenarnya ia inginkan. Seharusnya ia bernapas lega karena kedua putranya tak memiliki hubungan denganku. Dia akan membiarkanku pergi setelah aku mengatakan demikian. Kenapa dia seolah meyakinkanku kalau kedua putranya adalah laki-laki yang layak dipilih dan wajib diperhitungkan? Iya layak, sangat layak. Tapi aku yang merasa tak layak. Cukup kan?

"Mereka berdua tak pernah akur sejak ayah mereka meninggal. Mereka berubah banyak karena hal itu. Sejak dulu mereka sering bersaing dalam segala hal. Mereka nyaris tak pernah berinteraksi." Kenapa tiba-tiba Bu Merliana menceritakan hal itu padaku? "Apakah kamu pernah melihat mereka ngobrol?"

Pertanyaan ini? Ah, aku paham sekarang. Bu Merliana hanya ingin mengetahui sejauh mana hubungan kedua anaknya. Karena aku adalah asisten pribadi Pak Adit, aku bisa saja menyaksikan kesehariannya. Ya, masuk akal kini.

the King of MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang