Aku berusaha untuk berpikir realistis dalam setiap kejadian yang kualami akhir-akhir ini. Aku tak ingin berekspektasi muluk-muluk jika nantinya akan terjatuh. Jika kenyataannya tak seindah bayangan. Aku juga tak ingin berandai-andai. Kulalui hariku seperti air yang mengalir. Meskipun ada sedikit perlawanan tapi tak ada keinginan untuk melompat melampaui kemampuan.
Aku sadar diri. Aku juga tak bermimpi hidupku seperti Cinderella yang berbalik 180 derajat. Juga tak ingin menjalani kehidupan seperti tokoh dalam sinetron.
Jadi ketika saat ini aku diantar pulang oleh Fandy, aku menepis pikiranku untuk berpikir macam-macam. Yang beranggapan bahwa dia memiliki perhatian khusus padaku. Walaupun selama ini kami kenal dengan cara yang sedikit ganjil, tapi tidak. Dia tak mungkin menaruh perasaan khusus padaku. Demi apapun. Aku melihat kasta kami. Aku semakin menggeleng jika ingat siapa di belakangnya. Ibunya telah mewanti-wantiku untuk tidak mendekati anaknya. Rasanya aku ingin menangis jika ingat apa yang aku ucapkan pada Nyonya Merliana, M. BA. Aku dulu menyatakan bahwa aku tak akan mendekati mereka tapi kenyataannya aku nyaris tak bisa menjauhi mereka.
Setelah tadi sempat bersitegang antara Fandy dan Pak Adit, aku memutuskan untuk menerima tawaran Fandy yang mengajakku pulang bareng. Rasanya tak bijaksana membiarkan orang sakit mengantarku pulang. Lagipula aku merasa tak nyaman jika harus bersama dengan Pak Adit dalam satu mobil. Aku merasa seharian bersama Pak Adit sudah cukup buatku.
Orang mungkin akan salah paham atas sikap Fandy terhadapku. Perhatiannya berlebihan untuk orang yang baru saja dikenal. Bahkan Bella mengingatkanku untuk berhati-hati pada Fandy. Sebagai orang yang mengaku sangat berpengalaman dalam hal percintaan, Bella menyuruhku waspada jika saja Fandy adalah seorang player yang sedang menjadikanku sebagai target. Aku juga waspada meskipun sampai saat ini asumsi Bella tak terbukti.
"Kenapa kamu Dil? Tampaknya waspada begitu terhadapku?" Tanya Fandy sambil fokus nyetir. Aku mengalihkan pandangan ke jalan. Bagaimana bisa dia menyadari ketidaknyamananku. Apa terlalu kentara sikapku?
"Tidak kok. Hanya heran saja. Kenapa Mas Fandy baik banget sama aku? Kita kan belum lama kenal." Jawabku setengah jujur. Ia tertawa mendengar jawabanku. "Apa pacar Mas Fandy tidak masalah jika Mas bersamaku. Seperti Mbak Carrolina pada Pak Adit?"
Tawa Fandy semakin keras hingga ia memperlambat laju mobilnya. Takut tak bisa menjaga konsentrasi. Begitu tawanya berhenti, ia kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan semula.
"Ya...ya...sikapku memang mencurigakan. Tapi percaya deh, aku ngga punya niatan apa-apa. Aku hanya ingin kita berteman saja." Iya hanya itu. Memangnya apa lagi yang aku harapkan dari hubungan ini?
"Tapi kamu ngga perlu khawatir soal pacarku." Lanjutnya. "Aku tak punya pacar. Dan sedang tak ingin berpacaran dengan wanita manapun."
Aku memandangnya tak percaya. Dari segi apapun, Fandy masuk kategori laki-laki idaman. Pacarable. Dia ganteng, kaya, cerdas, ramah, murah, senyum dan nilai plus lainnya. Di jaman seperti ini, rasanya aneh kalau laki-laki sesempurna dia tidak pacaran. Pastilah wanita banyak yang antri menjadi kekasihnya. Kecuali...
"Kenapa kamu memandangku seperti itu? Hooaaa...tidak! Tidak! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" Dia mengibaskan tangan dengan panik, "Aku laki-laki normal. Aku masih suka wanita kok."
Aku terkekeh melihat reaksinya. Dia kok tahu pikiranku ya.
"Habisnya. Jarang-jarang kalau ada anak muda jaman sekarang yang tidak pacaran. Apalagi kaya Mas Fandy."
"Memangnya aku kenapa?" Tanyanya dengan sedikit menelengkan wajah ke arahku. Dia tersenyum jahil. Eh, aku keceplosan. Wajahku merona. Aku mengalihkan pandangan ke jalanan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
the King of Monster
Fiksi UmumGenre: fiksi umum, comedy Punya bos menyebalkan? Bukan impian setiap orang. Namun terjebak di dalam sebuah perusahaan dengan bos menyebalkan, bukanlah sebuah pilihan di saat era banyak phk seperti ini. Apalagi kondisi ekonomi memaksa hati untuk mena...