Oktober, 2010
Aku punya buku keempat. Jika kamu tertarik dengan buku ini.
Fandy @Arwana bookstore
Di tanggal dan jam yang samaBegitu pesan yang tertulis di bagian dalam cover belakang buku pertama. Oh, jadi begitu cara dia mengajak berkenalan. Klasik sekali. Padahal dia bisa langsung tanya nama tadi atau langsung minta nomor telepon.
Buku yang ia berikan memang sangat menarik. Aku bisa menyelesaikan 288 halaman dalam tiga hari. Salah, tiga malam. Karena siangnya aku kerja. Aku melahap habis buku itu setelah kuselesaikan buku yang kubeli sendiri. Jadi sekarang aku baru tahu kalau nama orang itu Fandy, seminggu setelah pertemuan kami.
"Kamu sebelum baca buku itu, baca ta'awudz dulu Dil! Jangan-jangan diberi mantra pelet buku itu." Pesan Ratna sebelum aku membuka buku itu. Nih anak memang jiwa mistisnya kental.
Tapi ngga ada salahnya juga. Mengingat betapa anehnya laki-laki itu memberikan buku dengan harga lumayan secara cuma-cuma kepada seseorang yang baru ditemuinya sekali. Dia bahkan tak tahu namaku. Kami juga tidak mengobrol banyak waktu itu. Dan buku itu tidak hanya satu, tapi tiga!? Tinggal ngitung sendiri kan nominalnya.
Dulu aku sempat melirik harganya dan itu yang menjadi alasan bagiku untuk mengurungkan niat untuk meminangnya. Satu buku harganya lebih dari 200 ribu. Kali tiga berarti lebih dari setengah juta. Mungkin bagi sebagian orang itu sedikit tapi bagi kami, uang segitu sama artinya kerja selama sepuluh hari.
Jadi sebenarnya kami terutama aku wajib waspada dengan kebaikan orang itu. Bukan su'udzan. Tapi jaman kaya gini banyak kejahatan terselubung.
"Hati-hati deh, Dil kalau dia ngajak ketemuan. Jangan mau. Kan banyak tuh kasus kopdar dengan teman di sosmed eh ngilang berhari-hari. Pulang-pulang udah tak perawan atau malah pulang tinggal nama." Netta yang suka nonton berita kriminal menakut-nakuti. Kami berempat yang mendengarnya kompak ngucap 'amit-amit, naudzubillah'.
Mereka semua benar. Aku sebaiknya berhati-hati. Ada baiknya aku tak datang ke toko buku itu bulan depan. Tapi kalau orang itu niatnya beneran tulus bagaimana? Apakah aku tidak lebih dari seseorang yang tak tahu terima kasih? Ah perasaan seperti ini yang selalu membuatku sering dimanfaatkan orang lain.
Sebulan berselang, aku menuruti saran teman-temanku untuk tidak datang ke toko buku seperti yang diharapkan laki-laki bernama Fandy itu. Biar saja aku dianggap tak tahu berterima kasih. Toh, bukan aku yang meminta dibelikan buku, dia sendiri yang memberi padaku. Padahal aku orang asing baginya. Kuabaikan perasaan tak enak dalam hatiku. Sesekali menjadi orang sedikit jahat mungkin tak apa.
Hari Jumat sore, kami pulang dengan basah kuyup oleh air hujan. Hari ini tidak lembur dan pekerjaan tidak terlalu banyak sehingga kami berlima bisa pulang lebih awal. Usai bersih-bersih badan, kami baru merasa perut kami keroncongan. Keroncongannya sama namun kami malas keluar mencari makan. Sempat saling tunjuk namun tak ada yang mau mengalah. Semua males gerak.
Akhirnya kami mengadakan kocokan. Setiap nama ditulis di kertas kemudian di kocok. Dua nama yang muncul akan ditumbalkan untuk mencari makanan keluar. Sialnya namaku dan Fida yang keluar. Ketiga cewek pemalas itu bersorak seketika.
"Oke, satu suara. Mau makan apa?" Tanya Fida.
Netta nasi goreng, Ratna bakso, Bella soto ayam. Aku dan Fida saling pandang. Dan kompak menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
the King of Monster
Fiction généraleGenre: fiksi umum, comedy Punya bos menyebalkan? Bukan impian setiap orang. Namun terjebak di dalam sebuah perusahaan dengan bos menyebalkan, bukanlah sebuah pilihan di saat era banyak phk seperti ini. Apalagi kondisi ekonomi memaksa hati untuk mena...