chapter 12: Nyonya Merliana, MBA

651 41 2
                                    

Aku menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu. Tak perlu lembur. Aku meregangkan otot sebentar sebelum membereskan meja kerja.  Namun sebelum niatku terlaksana, seorang wanita berwajah aristokrat mendekati mejaku. Demi menjaga kesopanan, aku berdiri menghormatinya.

"Bisa kita bicara sebentar?" Tanyanya berwibawa. Tanpa kujawab pun sebenarnya dia tahu kalau aku tak mungkin menolak.

Aku mengikutinya masuk ke ruangan Pak Ruslan setelah meminta izin pada empunya ruangan. Aku menebak-nebak kira-kira apa yang ingin disampaikan nyonya konglomerat ini pada kaum sudra.

Dia menatapku tajam. Aku duduk ketika disuruh duduk olehnya. Sejujurnya aku gugup sekali. Entah kenapa perasaanku tak enak. Menghadapinya jauh lebih horor dibanding menghadapi Pak Adit.

"Kamu yang bernama Fadilla Putri.?" Tanyanya.

"Benar, Bu." Jawabku sesopan mungkin seraya mengangguk. Dia menghela napas panjang.

"Oke, saya tidak ingin berbasa-basi. Waktuku tidak banyak. Saya ingin kamu jauhi Adit. Dia sudah punya pacar. Namanya Carrolina. Dia lulusan luar negeri. Dia calon desainer. Mereka akan bertunangan sebentar lagi." Ucapnya, sukses membuatku ternganga. Atas dasar apa dia mengatakan semua itu. "Juga Fandy. Biarkan dia fokus dengan kuliahnya. Jangan kamu ganggu konsentrasinya."

Aku tersenyum getir meski hatiku seperti ditusuk dengan sembilu. Tidak terlalu tajam namun menyakitkan. Namun di sisi lain aku juga ingin tertawa. Menertawakan tuduhan Nyonya Merliana yang tidak bertendensi ini. Darimana dia dapat informasi hoaks itu.

Aku sadar diri siapa saya. Kalaupun aku ingin mendekati para eksekutif perusahaan ini, tidak mungkin aku mendekati Pak Adit. Amit-amit tujuh turunan. Jangan sampai aku terlibat hubungan dengannya selain pekerjaan. Sedangkan Fandy? Mungkin kami akrab akhir-akhir ini. Tapi komunikasi kami dapat dihitung pakai jari tangan kanan saja.

"Maaf, Bu. Anda tidak perlu khawatir. Saya dengan Pak Adit maupun Mas Fandy tidak punya hubungan apapun. Kami berinteraksi sebatas pekerjaan. Jika anda ingin saya menjauhi mereka, baiklah akan saya lakukan. Saya yakin mereka tak memiliki niat apapun terhadap saya. Juga sebaliknya." Jawabku sopan tegas dan penuh penekanan.

Nyonya Merliana tampak kebingungan karena ternyata responku tak seperti apa yang ia bayangkan. Ia pasti mengira aku akan memohon-mohon, menangis dan mengemis sehingga ia bisa dengan leluasa meluapkan amarahnya. Memakiku, menghina dan mengusirku. Maaf Nyonya, saya tidak akan melakukannya. Aku tak pernah berharap menjadi Cinderella untuk keluarga ini.

"Terima kasih. Kamu bisa kembali." Ucapnya dingin karena tak ada kalimat lain yang ingin ia ucapkan.  Dia telah salah paham. Aku mohon diri.

Jika saja saat ini aku sedang tidak ada di kantor, mungkin aku sudah ngomel. Menyukai Pak Adit si raja monster? Mimpi saja aku ogah.

Kuremas beberapa kertas yang sudah tak terpakai dengan penuh emosi kemudian kulempar ke tong sampah dengan kekuatan super. Super mangkel pokoknya karena sudah dituduh sembarangan.

"Dosa apa kertas-kertas itu sampai kamu siksa dan dibanting?" Tiba-tiba Pak Adit sudah berdiri di dekat kubikelku. Aku sampai terlonjak karena kaget. Dia menatapku aneh.

"Ngga apa-apa Pak. Lagi cari kambing hitam." Sahutku cuek. Karyawan cuekin atasan. Haha...jangan ditiru ya, kalau ngga mau potong gaji.

"Kambing hitam buat apa?" Tanyanya lagi. Aku ternganga. Dia hanya mau mengujiku atau beneran tak tahu?

"Buat kurban nanti pas lebaran haji, Pak." Asal banget pokoknya.

"Lebaran hajinya kan masih lama. Lebaran idul fitri aja belum. Kok sudah cari kambing buat kurban? Lagian apa hubungannya nyari kambing sama kertas diremas-remas? Kamu pikir kambingnya ada di dalam situ? Atau bisa muncul dari situ, macam trik sulap? Waras ngga sih kamu?"

the King of MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang