Chapter 40: Telepon dari kampung

406 34 6
                                    

Kemarin bapak telepon. Sebenarnya sudah biasa beliau telepon. Kalau tidak, aku yang telepon. Sedikitnya seminggu sekali. Biasanya beliau menanyakan kabarku, kesehatanku, pekerjaanku, teman-temanku atau pak kosku. Lalu beliau akan mengabarkan keadaan di kampung.

Telepon kemarin pun demikian. Namun ada yang membuatku merenung sampai sekarang. Karena telepon kemarin tidak seperti biasanya. Beliau tidak hanya menanyakan kabar maupun memberi kabar.

"Nduk, alhamdulillah rumah sekarang sudah rapi. Insya Allah bapak sekarang sudah punya tabungan walaupun sedikit. Sapi yang kamu belikan dulu sekarang sudah beranak pinak. Sudah saatnya kamu memikirkan masa depanmu. Cita-citamu yang ingin sekolah tinggi. Insya Allah, bapak sudah punya modal untuk membiayai kuliahmu. Semua keputusan ada di tanganmu. Bapak dan ibu akan meridhoi semua keputusanmu asalkan tidak menyimpang dari norma. Cita-citamu, cita-cita kami juga. Kamu sekarang sudah dewasa, kamu sudah bisa membuat keputusan sendiri. Istikharah, minta pada Allah untuk membeti petunjuk. Kami tak ingin kamu menyesal nantinya."

Tak terasa air mataku meleleh ingat kampung halaman. Ingat bapak dan ibu membanting tulang bekerja di bawah terik matahari. Aku harus mewujudkan keinginan mereka. Mereka ingin anaknya sarjana. Tidak, tidak dengan uang mereka. Sudah cukup mereka membiayaiku selama 13 tahun bersekolah. Aku bertekad akan membiayai kuliahku sendiri. Entah dengan berburu beasiswa atau bekerja sampingan. Atau aku mengambil kuliah sore atau akhir pekan.

Kegalauanku bertambah karena itu artinya aku harus membuat keputusan besar di hidupku. Apakah aku akan keluar dari sini dan fokus kuliah atau bertahan di sini dan kuliah di akhir pekan.

Selama ini aku selalu ingin kabur dari sini. Tak segan aku mengancam si Boss untuk mengundurkan diri (kurang ajar sekali aku sebagai karyawan). Tapi ketika sudah waktunya untuk pergi, rasanya berat sekali. Bagaimanapun bekerja di perusahaan ini adalah pekerjaan pertamaku. Banyak suka dukaku di sini. Banyak pula temanku di sini.

Ada pula perasaan khawatir nanti biaya kuliahnya bagaimana saat di tengah jalan dan tabunganku sudah habis. Tabunganku sekarang memang sudah lebih dari cukup untuk masuk kuliah. Tergantung dimana universitasnya nanti. Tapi kebutuhan manusia kan tidak ada yang tahu.

"Kamu menangis Dil?" Tanya Mbak Rossa tiba-tiba di depan mejaku. "Ada apa sayang? Kamu dimarahi Pak Adit lagi? Udahlah, jangan diambil hati."

Aku menggeleng seraya menyeka air mataku. Aku tersenyum untuk meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.

"Ngga apa-apa Mbak. Cuma ingat bapak ibu. Sepertinya mereka menginginkan aku kuliah tahun ini."

"Kamu gimana?" Mbak Rossa menyeret kursi mendekatiku.

"Aku juga pengin Mbak. Itu kan salah satu motivasiku untuk kerja."

"Kamu bakalan keluar dari sini dong?" Sahut Mbak Rossa dengan nada sedih. "Kamu ikut kuliah yang akhir pekan aja. Lumayan kan bisa biayai kuliah dari kerja di sini "

"Tapi, akhir pekan aku kan sering kerja Mbak. Lagipula kerja seminggu full itu melelahkan." Keluhku. Mbak Rossa anggut-anggut membenarkan.

"Iya. Kasihan tubuhmu juga. Udah kerempeng gitu, masih dipaksain buat mikir dan kerja." Ujar Mbak Rossa prihatin. Jujur banget sih, Mbaaakk. "Lalu rencanamu bagaimana?"

"Belum tahu Mbak. Aku pikir dulu. Aku ngga mau sembrono dalam memutuskan. Nanti menyesal."

"Betul. Pikirkan baik-baik. Tak ada salahnya sharing sama teman. Pendapat mereka bisa jadi bahan pertimbangan. Jangan sampai kamu menyesal nanti! Langkahmu masih sangat panjang."

Aku masih ingin berbicara banyak dengan Mbak Rossa namun percakapan kami terhenti oleh panggilan darurat dari si Boss. Pak Boss menyuruhku segera ke ruangannya.

the King of MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang