Aku pikir inilah akhir hayatku. Mungkin nanti saat pulang, aku tinggal nama. Mana belum lebaran, aku belum ngerasain mudik. Belum sungkem sama bapak ibu. Aku juga belum sempat kuliah, masa ceritaku sudah tamat di sini. Belum seru dong.
Pak Adit masih menatapku tajam dan aku, tentu saja tak berani menatapnya. Bahkan dalam kondisi biasa pun aku jarang menatapnya secara langsung. Karena aku tidak nyaman jika menatap langsung orang yang sedang kuajak bicara. Bukan karena tidak sopan tapi ini bagian dari ghadul bashar. Menundukkan pandangan. Cielaaaahh...
"Tadi pagi kamu menyebutku maharaja monster, sekarang beruang kutub. Dalam sehari kamu telah menjulukiku dengan dua sebutan yang berbeda. Itu yang ketahuan olehku. Belum yang tanpa sepengetahuanku."
"Ma...maaf Pak. Selain itu tidak ada lagi kok. Tadi cuma bercanda sama Mbak Rossa. Lagipula kenapa hanya saya yang disidang. Mbak Rossa kan juga terlibat?" Aku mencari teman untuk dipersalahkan. Ya intinya kalau dihukum, aku tak mau sendirian. Itu aja.
"Kenapa dengan Bu Rossa? Telingaku hanya menangkap suaramu yang menyebutku dengan panggilan itu."
"Tapi Pak. Itu bukan menyebut bapak kok. Bapak aja yang terlalu sensitif." Kilahku di detik-detik pengadilanku.
"Oh, ya? Akhir-akhir ini aku memang terlalu sensitif." Ucapnya dengan menampilkan smirk yang membuatku mual."Aku bahkan sering merasa seperti ada yang diam-diam ingin mencekikku dari belakang."
Aku menelan saliva dengan susah payah. Tenggorokanku tercekat. Bahkan aku merasa sedang dicekik. Dia tahu apa yang ada di pikiranku. Jangan-jangan benar, ia punya spion.
"Sebentar." Ucapnya sambil mengangkat tangan. Lalu dia mengeluarkan hape dan tampak menelpon seseorang.
Aku nyaris terjungkal karena di saat mencekam, tiba-tiba hapeku yang berada di atas meja bergetar. Ada panggilan masuk. Duh, siapa yang telepon di injury time gini? Aku melirik takut-takut.
Raja monster mesum? Aku mengernyitkan dahi. Ngapain si Boss telepon segala? Dia kan ada di sini? Apa salah nomor? Tiba-tiba aku menyadari kebodohanku. Dengan serabutan aku berusaha meraih hapeku namun gerakanku masih kalah cepat dengan Pak Boss. Dia lebih dulu meraih hapeku.
"Apa ini? Raja Monster Mesum?" Tanyanya geram. Aku menggigit bibir. Pembelaan apa lagi yang bisa kulakukan?
"Ngg...nggg..ituu... Bukan bapak kok." Jawabku konyol. Dia tertawa terbahak-bahak hingga memenuhi lorong yang sudah mulai sepi.
"Jelas-jelas aku yang telepon kamu, masih juga mengelak." Ucapnya semakin mengintimidasi. Aku mengumpulkan keberanian. Melawan atau tidak, aku tetap kena semprot. Jadi melawan adalah pilihanku. Seperti jargon, tak akan menyerah sebelum berperang.
"Nama kontak kan privasi Pak. Terserah saya dong. Itu hape saya. Yang baca kontaknya juga saya." Protesku dan langsung kusesali, betapa lancangnya aku.
"Oh, begitu??" Pak Adit anggut-anggut dengan tujuan meremehkan. Dadaku makin kembang kempis karena menahan emosi yang tak karuan. Ada banyak hal yang perlu dikerjakan, kenapa sih si Boss selalu mempermasalahkan hal-hal remeh temeh seperti ini?
"Iya. Mau saya namai Raja monster, anjing galak atau raja iblis, terserah saya dong. Yang penting saya mengerti."
"Sekarang kamu menyebut saya anjing galak dan raja iblis?" Tanyanya dengan mata melotot. Duh, salah ngomong. Kenapa keceplosan teriakan hati terdalam?
"Bapak mau ngapain?" Tanyaku saat dia mulai menscroll hapeku. Mencurigakan!
"Sepertinya hanya aku yang mendapat gelar bangsawan ini." Ucapnya setelah meneliti hapeku. Pasti dia baru saja memeriksa daftar kontakku. Boleh mengumpat? Aku ingin bilang kurang a**r. Disensor saja. Nanti kalau ketahuan bapak ibu, bisa diomelin tujuh purnama. Ia kemudian mengetik sesuatu. Lagian ini kan bulan puasa, bisa rusak puasaku nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
the King of Monster
Fiksi UmumGenre: fiksi umum, comedy Punya bos menyebalkan? Bukan impian setiap orang. Namun terjebak di dalam sebuah perusahaan dengan bos menyebalkan, bukanlah sebuah pilihan di saat era banyak phk seperti ini. Apalagi kondisi ekonomi memaksa hati untuk mena...