Malam Minggu, Kakek Wijaya meminta Pak Kadus untuk mengumpulkan warganya di halaman rumah. Selain warga, Pak Kadus juga mengundang yayasan dan guru SD Pelita Bangsa. Kakek Wijaya mengadakan sarasehan dengan santai ditemani kedua cucunya.
Warga antusias. Mereka datang berbondong-bondong bahkan mengajak anak dan istrinya. Suasana ini mengingatkanku pada momen halal bihalal di kampungku. Meriah, semarak, sederhana, hangat dan penuh kekeluargaan. Kulihat Kakek Wijaya juga banyak tersenyum. Pria dengan rambut nyaris memutih semua itu dengan senang hati mendengar cerita dan keluhan warga. Beliau seperti sosok wakil rakyat yang blusukan.
Dari semua pemandangan, aku benar-benar menghindari berkontak mata dengan Pak Adit. Aku bahkan menyembunyikan diri di balik tubuh Reina dan Bu Winati yang besar. Tapi tetap saja aku merasakan ada cctv yang mengawasiku sepanjang waktu. Jika tanpa sengaja pandanganku tertuju padanya, ternyata sepasang manik tajam itu terarah padaku. Bagaimana aku bisa lari darinya?
Setelah acara selesai dan para warga bubar, ruang bagi kami untuk saling melihat semakin lebar. Aku ikut membantu membereskan piring, gelas, menggulung tikar dengan tetap dekat dengan Reina. Alasanku agar aku tidak didekati Pak Adit. Untungnya Reina bukan orang yang peka. Sehingga dia tidak curiga mengapa malam ini aku menempel terus di dekatnya padahal biasanya aku mengembara kemana-mana.
Acara bersih-bersih selesai dan semua masuk ke dalam rumah. Pak Adit kembali ke rumah Pak Hidayat tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku karena tentu saja aku sudah masuk duluan ke dalam rumah Pak Kadus.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Jantungku yang bergemuruh sejak sore tadi, tidak juga tenang. Bolak-balik aku menengok layar hape dan tidak ada apapun. Tidak ada yang mengirim pesan atau yang berniat telepon. Ada perasaan kesal dan entahlah. Campur aduk.
Lalu besok? Apa yang harus kukatakan padanya? Pipiku terasa menghangat. Kenapa aku sekarang gugup? Apa perasaanku mulai bergeser dari menyukai Mas Fandy menjadi menyukai Pak Adit? Ah, tak mungkin! Aku seperti ini karena dia menyatakan perasaannya padaku bukan? Bukankah aku juga pernah merasakannya saat dulu Revan menembakku? Tapi ini rasanya beda. Apa karena aku tak pernah menyangka hal ini sebelumnya? Karena ini adalah salah satu hal mustahil?
Tunggu!! Jangan-jangan aku hanya berhalusinasi! Aku hanya membayangkan Pak Adit mengatakan kalau dia menyukaiku padahal dia mengatakan hal lain. Tapi apakah aku sudah tak waras sampai membayangkan dia menyukaiku?
Semakin larut malam, semakin aku frustasi oleh pikiranku sendiri dan semakin aku tidak bisa tidur. Reina sudah mengigau, dia sepertinya bermimpi menjadi penyanyi karena igauannya seperti gumaman lirik lagu.
Aku baru bisa tidur setelah lewat tengah malam. Aku membaca novel hingga akhirnya tak sadar novelku terjatuh menutupi muka. Dan esoknya aku terbangun dengan kantung mata menghiasi wajah. Aku bahkan terlambat bangun. Kalau saja tidak dibangunkan Reina, aku pasti melewatkan sholat shubuh.
"Kamu kenapa? Semalem tidak bisa tidur? Tidak biasanya telat bangun." Tanya Reina sambil mencuci baju di dekat sumur belakang rumah Pak Kadus.
"Iya, karena terjaga terlalu malam, aku jadi kebablasan ngga bisa tidur." Jawabku. Ngga jujur sih. Ngga mungkin pula aku jujur kalau aku tidak bisa tidur gara-gara mikirin Pak Adit. Ah, ngga! Aku tidak memikirkan monster itu!
"Hari ini Pak Wijaya dan Pak Adit mau balik ya. Kapan mereka akan berangkat?" Tanya Reina sambil ngucek baju. Mendengar nama Pak Adit disebut, secara tiba-tiba seperti ada aliran listrik dari dalam air menuju tanganku. Tali timba di tanganku terlepas. Ember yang berisi air penuh yang susah payah kutimba sampai setengah tinggi sumur malah kembali jatuh. Aku harus mengulang lagi.
"Kurang tahu aku." Jawabku senetral mungkin padahal nih kebat-kebit.
"Pak Fandy juga balik ya? Yah, sayang sekali mereka hanya sebentar di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
the King of Monster
Ficción GeneralGenre: fiksi umum, comedy Punya bos menyebalkan? Bukan impian setiap orang. Namun terjebak di dalam sebuah perusahaan dengan bos menyebalkan, bukanlah sebuah pilihan di saat era banyak phk seperti ini. Apalagi kondisi ekonomi memaksa hati untuk mena...