Senin sore, hanya aku dan Fida yang pulang sore tak lembur. Lainnya lembur sampai jam 7. Kami berjalan beriringan menuju kos dengan badan lelah. Sambil jalan, iseng aku membuka akun sosmedku. Siapa tahu ada yang menarik. Fida juga demikian.
Tiba-tiba Fida menarik tanganku memperlihatkan sebuah story di sosmed nya. Terdapat sebuah foto seorang laki-laki sedang memeluk perempuan. Intim sekali kelihatannya. Sialnya aku kenal dengan laki-laki dan perempuan itu.
"Ini Revan kan?" Tanyanya. Story yang diperlihatkan padaku milik Stella, perempuan yang dipeluk Revan. Aku tercekat. Stella adalah temanku. Kami tidak terlalu dekat namun dia tahu kalau selama ini aku jalan dengan Revan. Tak kusangka, ternyata dia alasan kami putus.
"Stella tahu kan kalau kamu itu pacarnya Revan?"
"Dulu. Sekarang kami putus." Sahutku dingin. Tapi bukankah kami sudah mengakhirinya dengan baik-baik? Untuk apa marah?
"Dan Revan tahu kan kalau Stella itu temenmu?" Pertanyaan Fida sungguh memprovokasi. Aku mengangguk.
"Setahuku dia tahu siapa saja temanku."
"Benar-benar nih anak. Pake pelukan di depan umum lagi." Kompor Fida siap mbeledug.
"Biarin lah Da. Mungkin dia emang tipe Revan yang mau dipeluk di depan umum." Sahutku seraya tersenyum. Getir. Jujur ya, aku memang berpacaran dengan Revan selama hampir satu tahun tapi tak pernah sekalipun kami kontak fisik. Paling berani dia hanya pegang tangan. Di samping aku menjaga diriku agar tak tersentuh, sepertinya dia juga menjagaku. Itu sebabnya aku merasa nyaman dengannya dan sedikit kecewa saat putus dengannya.
Ketika sekarang kulihat dia di foto itu, kuambil sebuah hipotesis bahwa sebenarnya sebagai laki-laki normal dia menginginkan kontak fisik dengan pacarnya. Karena dia tak mendapatkannya dariku dia mencari wanita lain untuk dipacari. Logis.
"Kamu ngga usah sok kuat gitu, Dil. Nangis ngga apa-apa. Marah juga boleh. Tapi menyesal jangan. Kamu telah membuat keputusan yang tepat dengan putus dengannya. Sekarang kita tahu seperti apa Revan sebenarnya. Dan seperti apa tipe cewek yang diinginkan Revan."
Fida emang sok dewasa tapi dalam urusan bersih-bersih rumah. Kalau urusan emosional seperti ini, sebaiknya menjauh darinya atau kamu akan semakin membara.
Saat kami akan berbelok ke gang arah kos, sebuah mobil mulus berwarna silver melintas dari arah depan. Tiba-tiba tanpa permisi, kaca mobil terbuka dan terlempar sebuah kaleng softdrink keluar. Sialnya, kaleng itu mengenai kepalaku.
"Aduuu!!" Aku memegang kepalaku. Seperti minyak disulut api, emosiku yang sudah membara menjadi semakin besar. Tanpa buang tempo, kuambil kaleng itu dan kulempar keras mengenai kaca belakang. Tak sampai pecah sih, tapi berhasil membuat pengemudi itu menghentikan mobilnya.
Makanya jangan macam-macam. Ini perumahan, bro. Buang sampah pada tempatnya. Apalagi kalau sampai mengenai orang yang sedang capek dan patah hati. Emosi berat. Singa aja bakal diajak gulat.
Pemilik mobil itu turun. Dia seorang cowok berkacamata hitam. Pantes, sore-sore gini pake kacamata hitam sampai tak bisa bedain mana tong sampah mana cewek cakep.
Fida menggamitku yang mau melangkahkan kaki menuju gang kosku. Dia berhenti dan berisik banget.
"Hei!!!" Seru cowok itu sambil mengelus bagian belakang mobilnya. Aku berhenti dan menatapnya nanar. Hhhh...ngga lecet pak. Mau apa?
"Ada apa?" Tanyaku tanpa dosa.
"Kamu tanya ada apa? Siapa kamu, berani-beraninya melempar kaleng bekas ke mobilku???" Aku tersenyum sinis. Api itu bertambah besar.
"Lalu siapa anda? Pejabat darimana anda, berani-beraninya buang sampah sembarangan dan mengenai kepala saya? Yang seharusnya marah itu saya." Senjatanya menyerang balik tuannya. Dia gelagapan. Hayo, mau ngeles apa??
KAMU SEDANG MEMBACA
the King of Monster
Fiction généraleGenre: fiksi umum, comedy Punya bos menyebalkan? Bukan impian setiap orang. Namun terjebak di dalam sebuah perusahaan dengan bos menyebalkan, bukanlah sebuah pilihan di saat era banyak phk seperti ini. Apalagi kondisi ekonomi memaksa hati untuk mena...