chapter 04: Pak Hans

1K 72 0
                                    

Aku membuka mata dan mendapati diriku terbaring di atas ranjang dalam ruangan asing. Ruangan yang bersih berbau karbol. Juga sepi karena aku hanya sendiri di ruang berukuran 4x4 ini. Aku tak mendengar suara desing mesin jahit. Sayup-sayup kudengar suara orang bercakap-cakap di luar namun tak jelas kudengar berapa orang yang terlibat dan apa yang dibicarakan.

Kugerakkan badanku bermaksud untuk bangkit dari tempat tidur. Tapi tubuhku rasanya remuk redam. Sakit di punggungku, seolah tulangku membeku. Kaku. Ku angkat tangan kiriku, serasa ada yang mengekang. Ternyata selang infus terpasang di sana. Infus? Berarti aku sedang di rumah sakit. Kuingat kejadian beberapa saat yang lalu. Ah, iya. Aku tertimpa tumpukan kardus saat menolong Kakek Wijaya. Jadi aku pingsan tadi.

Tiba-tiba pintu terbuka. Kakek Wijaya masuk diikuti sekretarisnya dan Pak Hans. Beliau tersenyum khawatir. Di belakangnya masuk seorang dokter wanita yang cantik. Dia tersenyum dan memeriksaku

"Akhirnya kamu siuman. Apa yang kamu rasakan?" Tanya dokter cantik itu.

"Punggung saya sakit, dok."

"Baiklah, kamu istirahat dulu. Kita akan melakukan rontgen."

"Saya belum boleh pulang dok?" Dokter itu tersenyum menggeleng. Seketika aku merasa khawatir. Iya khawatir lah. Aku kan ngga punya duit. Aku belum gajian. Duit yang tersisa cuma cukup buat makan sampai akhir bulan. Jamsostek? Belum bayar juga lah, entah sudah didaftarkan atau belum sama perusahaan malah. Dan ini kliniknya di kamar kelas satu atau dua mungkin. Sekamar sendiri, ada tivi dan AC nya. Belum lagi rontgen. Kan mahal. Mau hutang teman-teman? Mereka juga sama kerenya. Mau minta bapak mengirimi uang, nanti merepotkan. Belum apa-apa sudah minta dikirimi uang. Harusnya kan aku yang kirim uang. Selain itu, mereka juga akan khawatir kalau tahu aku di rumah sakit.

"Pak Hans, bisa bicara sebentar?" Tanyaku saat bu dokter cantik sudah pergi. Pak Hans mendekat padaku. "Saya boleh pulang segera tidak? Terus balik kerja. Ini masih jam 4. Sepertinya hari ini saya lembur."

"Kamu istirahat dulu sampai keadaanmu membaik dan hasil rontgen keluar. Pekerjaanmu biar diselesaikan yang lain."

"Emm...kalau begitu bisakah saya pindah kamar? Ke kelas 3 atau di bawahnya?" Tanyaku setengah berbisik. Namun cukup terdengar oleh yang lain karena hanya ada kami berempat di sini. Pak Hans tersenyum sedangkan Kakek Wijaya tertawa.

"Kamu ngga usah khawatir. Istirahat saja. Semua biaya sudah saya tanggung." Sahut Kakek Wijaya.

"Tapi Kek...maksud saya Pak."

"Hahaha...saya lebih senang kamu panggil kakek. Ternyata kamu kerja di pabrik saya. Ini klinik perusahaan dan semua kecelakaan kerja ditanggung perusahaan sepenuhnya. Lagipula kamu terluka karena menyelamatkan saya. Jadi seandainya tidak ditanggung perusahaan, saya yang akan menanggungnya."

"Te...terima kasih Kek." Mataku berkaca-kaca. Alhamdulillah tidak jadi hutang, "Bagaimana keadaan anda?"

"Aku baik-baik saja, berkat kamu." Jawab Kakek Wijaya seraya tersenyum. "Baiklah, saya pergi dulu. Nanti semuanya biar diurus sama sekretaris saya."

"Biar saya saja, Pak. Saya punya hutang pada Fadilla." Sahut Pak Hans cepat. Kakek Wijaya tersenyum kemudian pergi diikuti sekretarisnya. Meninggalkanku yang masih belum mengerti. Pak Hans utang apa padaku? Kami tidak kenal sebelumnya, kapan dia pinjam duit padaku? Lagipula aku tak punya duit untuk dipinjamkan. Untuk nakan sendiri saja ngirit apalagi dipiutangkan.

"Kamu telah menemukan berkas perusahaanku." Ucap Pak Hans seolah tahu pertanyaanku. Owh..

Begitu nendapat kabar bahwa aku opname, teman sekosku datang menjenguk. Mereka membawakan pakaian ganti dan beberapa makanan kecil. Pak kos dan ibu kos juga datang. Rencananya para koser mau menemaniku tapi tidak jadi. Penunggu pasien hanya boleh maksimal dua orang di klinik ini. Kalau ramai-ramai nanti malah jadi pasar malam. Ya sudah, kupaksa mereka semua pulang. Soalnya mereka tadi habis pulang kerja langsung kesini. Dan besok pagi-pagi mereka juga harus berangkat kerja lagi. Kasihan capek.

Keadaanku juga sudah membaik. Rasa nyeri di punggung sudah berkurang. Mungkin besok aku bisa langsung kerja. Aku sudah mau menutup mata untuk tidur namun tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Membuatku sedikit takut. Iyalah, kan cerita-cerita serem sering beredar di sekitar rumah sakit. Aku nyaris menjerit saat sebuah kepala menyembul dari sana. Ternyata Pak Hans. Ngapain malam-malam dia kesini? Kok aku jadi lebih takut.

"Kamu sendirian?" Tanyanya di ambang pintu.

"I...iya Pak. Anda di sini ngapain?"

"Aku akan menemanimu malam ini." Eh? Ngga salah dengar aku? Ehm, pipiku merona. "Aku di luar ya. Kalau ada apa-apa panggil saja aku."

Dia kembali keluar dan menutup pintu. Em, kok sekarang aku jadi sakit jantung ya. Berantakan sekali detakannya. Kalau begini aku jadi tidak bisa tidur. Membayangkan betapa hangatnya sikap Pak Hans yang rela menunggui karyawannya yang sakit. Dia pasti kedinginan di luar. Apa dia selalu begitu pada semua karyawan? Jangan ge er dulu lah, Dil. Hutang. Ingat, ini karena hutang budi itu.

Esok harinya, hasil rontgen keluar menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Aku segera bersiap-siap pulang saat diberitahu perawat bahwa administrasi sudah beres.

Sebelum aku meninggalkan kamar, kembali Pak Hans mengagetkanku dengan ketukan pintu. Ada apa lagi?

"Kamu pulang sekarang?" Tanyanya. Sepertinya dia dari pabrik. Aku menjawabnya dengan anggukan. "Sudah siap?"

"Sudah." Jawabku ragu.

"Mari, saya antar." Ucapnya lagi membuatku tertegun. Kok dagdigdug ya. Benar ngga sih ini, "Pak Wijaya meminta saya untuk mengantarkanmu pulang."

Sebelum aku salah paham dan berpikiran macam-macam, dia sudah menjelaskan alasannya. Hhh...realistis Fadilla. Kamu itu mikir apa sih? Ngga usah macam-macam deh.

Pak Hans mengantarkanku sampai kos. Setelah itu dia segera kembali ke pabrik. Tak ada inisiatif dariku untuk berbasa-basi menawarkan untuk mampir.  Karena pertama, dia harus kerja. Dua, emang aku siapa? Ketiga, kalau dia beneran mampir terus mau apa? Akan sangat canggung nantinya. Tadi saja kami sudah terjebak dalam suasana yang sangat canggung selama perjalanan. Kami tak ngobrol sedikitpun. Dia hanya bertanya dimana arah kosku.

Teman-temanku langsung heboh ketika pulang dan melihatku sampai di rumah. Makin heboh lagi saat tahu aku diantar pulang oleh Pak Hans naik mobilnya.

"Waaaahhhh, yang bener Dil? Aku juga mau pingsan di pabrik kalau gitu." Seru Netta histeris. Nih anak lebay deh.

"Eh, katanya Pak Hans itu single lho." Ratna menimpali. Terus?

"Dia kan ganteng banget. Kali aja jodoh." Bella menambahi.

"Dia mengantarku itu atas perintah Kakek Wijaya karena aku telah menolongnya." Sahutku mencoba membuat mereka kembali pada realita.

Ya realita. Karena aku tak ingin berkhayal menjadikan hidupku seperti sinetron dimana seorang bos ganteng, single dan baik jatuh cinta pada karyawannya yang biasa-biasa saja. Tidak. Karena dalam sinetron juga hubungan mereka tidak direstui oleh orangtua si bos dan berujung pada kisah tragis berujung pilu. Atau pak bos punya pacar cantik tapi judes luar biasa. Tak pernah aku berkhayal seperti itu. Aku disini kerja. Kerja. Dan kerja. Dapat uang banyak. Bantu orangtua, nabung buat kuliah. Lupakan tentang asmara terlebih dahulu. Sakit yang Revan berikan belum sembuh seutuhnya.

24072020...
19.31

the King of MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang