Chapter ini mengandung konten 18+, mohon bijak dalam membacanya.. happy reading...
______________________________________________
Delapan bulan berlalu. Setelah melalui perjuangan penuh peluh dan air mata hingga berdarah-darah, akhirnya aku diwisuda. Bukan sekedar dramatisir, perjuanganku menyelesaikan skripsi memang bikin stres jiwa raga. Aku bukanlah orang yang berbakat dalam hal kepenulisan ilmiah. Aku sering kesulitan membuat kalimat yang padu dan enak dibaca. Ditambah lagi dosen pembimbingku luar biasa perfeksionis. Salah satu titik atau koma saja harus diulang. Sabetan bolpoin merahnya lebih tajam dari samurai. Aku selalu merasa mulas jika ada jadwal konsultasi. Aku frustasi hingga rambutku banyak yang rontok.
Perjuanganku terbayarkan hari ini. Aku hari ini berdiri di antara ratusan wisudawan wisudawati memakai toga di aula kampus. Ada haru dan bahagia. Semua bercampur jadi satu. Kala namaku disebut Fadilla Putri, S.Pd. sebagai wisudawati dengan gelar cumlaude, ada perasaan bangga membuncah di hatiku. Aku yakin kedua orangtuaku yang saat ini menyaksikan prosesi ini juga bangga. Tanpa terasa setitik air mata menetes dari mataku.
Usai acara, kami berfoto ria bersama teman seangkatan di luar aula. Aku tersenyum getir saat melihat beberapa temanku diiringi oleh kekasih mereka. Aku jadi teringat dengan Pak Adit.
Seharusnya dia tahu hari ini. Seharusnya hari ini hari yang kami tunggu. Yang akan menjadi awal hubungan kami. Tapi semua mungkin hanya akan menjadi kenangan di masa lalu. Seharusnya aku tak perlu sedih. Aku sudah mewanti-wanti diriku sendiri agar terbangun dari mimpi. Aku selalu menolak untuk menjadi Cinderella. Seharusnya aku tak perlu bersedih kan?
Delapan bulan telah berlalu. Dan sejak dia pergi dari rumahku hingga sekarang, kami sama sekali tak berkomunikasi. Aku berusaha untuk melupakannya namun semakin aku berusaha, aku semakin mengingatnya. Aku terlalu naif untuk mengakui perasaanku dan terlalu malu untuk menghubunginya terlebih dahulu. Mungkin saja sekarang dia sudah menemukan wanita lain dan mungkin malah sudah menikah.
Dua hari setelah kedatangan Pak Adit ke rumah, bapak dan ibu memberitahu hal yang membuatku termenung beberapa hari. Sesuatu yang mereka bicarakan bersama Pak Adit tanpa sepengetahuanku. Ternyata benar, kedua orangtuaku tak bisa menerima Pak Adit secepat itu. Mereka mengajukan syarat agar Pak Adit mau menunggu sampai aku lulus. Mereka juga meminta Pak Adit tidak menghubungiku sama sekali agar aku fokus pada skripsiku. Bukan itu saja mereka secara terang-terangan menyuruh Pak Adit untuk mencari penggantiku. Entah pembuktian yang bagaimana yang mereka inginkan. Dari sikap mereka, mereka tampak welcome dengan kehadiran Pak Adit. Tak jarang mereka memuji Pak Adit saat tanpa sengaja membicarakannya. Namun aku tak mengerti mengapa mereka tak menyetujui hubungan kami.
Sudahlah. Kalau tidak bertemu lagi, itu artinya bukan jodoh. Kalau jodoh tak kemana. Aku percaya ungkapan klise itu.
"Fadilla...selamat yaaa...." Seru Reina dan Evan. Mereka datang bersamaan menggunakan toga juga.
"Selamat juga buat kalian berdua. Jangan lupa undabgannya kalau sudah hari-H." Sahutku. Kedua temanku saling pandang. Pipi Reina yang putih bersemu merah.
"Kok kamu tahu?" Tanyanya malu-malu.
"Tahulah. Sebel juga jadi obat nyamuk di lokasi PPL." Jawabku.
"Siapa yang jadi obat nyamuk? Kamu sendiri sama Pak Adit dan Pak Fandy." Bantah Evan.
"Eh?"
"Kok tahu? Ya tahulah. Kamu aja yang ngga peka. Menurutmu, ngapain coba Pak Adit yang seorang eksekutif itu jauh-jauh datang ke desa terpencil? Demi apa coba? Aku sering mergoki dia mencari-cari kamu dari teras rumah Pak Hidayat." Tukas Evan.
"Lalu siapa yang kamu pilih? Pak Adit atau Pak Fandy?"
"Kok Mas Fandy?"
"Kamu ngga sadar juga kalau Pak Fandy itu diam-diam sering memperhatikan kamu? Dia selalu tampak antusias jika bertemu kamu. Aku bahkan tanpa sengaja melihat dia memegang kotak kecil, kutebak itu cincin untukmu." Tambah Reina. Aku termenung. Mas Fandy? Tak mungkin!
KAMU SEDANG MEMBACA
the King of Monster
Fiksi UmumGenre: fiksi umum, comedy Punya bos menyebalkan? Bukan impian setiap orang. Namun terjebak di dalam sebuah perusahaan dengan bos menyebalkan, bukanlah sebuah pilihan di saat era banyak phk seperti ini. Apalagi kondisi ekonomi memaksa hati untuk mena...