chapter 15: sebuah penawaran

591 39 7
                                    

Bulan puasa tinggal 2 minggu lagi. Setelah puasa nanti lebaran dan kami bisa mudik. Rasanya tak sabar untuk segera pulang ke kampung halaman setelah setahun lamanya merantau. Setahun? Ya, tanpa terasa sudah setahun kami bekerja. Ngga nyangka kami bisa bertahan selama itu. Mengingat keluh kesah kami, rasanya enam bulan sudah cukup lama bagi kami.

Setahun? Itu artinya kami harus siap lirak-lirik lowongan di kanan kiri. Karena kontrak kami hanya setahun dan kontrak kami akan habis sebulan setelah lebaran. Kami harus siap-siap hunting kerjaan lagi jika kontrak kami tak diperpanjang. Juga lobi-lobi teman dan kenalan siapa tahu ada lowongan.

Aku sendiri mengecek saldo tabunganku. Apakah sudah cukup untuk biaya kuliah. Paling tidak untuk tahun pertama. Meskipun sudah mulai banyak bahkan tak kusangka akan sebanyak ini. Tapi tetap saja belum cukup untuk biaya kuliah dan kos nya nanti.

"Mba, punya teman yang butuh karyawan ngga?" Tanyaku pada Mbak Rossa dan Mbak Nia saat nongkrong di kubikel Mbak Rossa waktu istirahat.

"Emm...belum ada sih. Tapi kadang ada juga yang nyari. Kenapa? Kamu mau pindah kerja?" Jawab Mbak Rossa sedangkan Mbak Nia masih sibuk mengunyah rujak yang dibawanya dari rumah.

"Buat jaga-jaga Mbak. Habis lebaran kan kontrakku habis. Nanti kalau tidak diperpanjang sudah ada kerjaan lagi."

"Kamu sendiri pengen diperpanjang ngga?" Tanya Mbak Nia.

"Ngga tahu juga sih Mbak. Kalau ingat susahnya cari kerja, ya...pengin diperpanjang juga. Tapi kalau nanti teman-teman se kos ngga diperpanjang, bosen juga. Pengen juga sih pindah, cari kerjaan yang ngga terlalu memforsir tubuh dan masuk akal."

"Memangnya pekerjaanmu ngga masuk akal?" Tanya Mba Nia.

"Kalian kan tahu sendiri apa yang kukerjakan atas perintah si Boss. Emang ada yang masuk akal?" Aku balik tanya.

"Tapi masa kamu kerja tergantung temanmu sih?" Protes Mbak Rossa.

"Habisnya gimana ya Mbak, teman se kos itu udah jadi kaya saudara di perantauan. Susah senang bareng-bareng."

Iya benar. Teman sekos ku itu, meski kadang bertingkah absurd tapi mereka selalu ada untukku. Teman sekos layaknya siblings. Coba kalau masuk angin, siapa yang ngerokin kalau bukan teman sekos. Siapa yang minjemin duit saat lagi kere. Siapa yang akan menjadi sandaran saat lagi sedih. Siapa yang akan mengobati kerinduan akan kampung halaman kalau bukan kekonyolan teman sekos. Mungkin banyak teman kos yang nyebelin, hidup sebagai parasit dan bikin kita lelah hati. Tapi mereka bukan temanku.

Konflik di antara kami tentu saja ada. Namun segera kami selesaikan dan semua akan kembali seperti semula.

"Kamu sendiri betah ngga di sini?"

"Betah sih, mba. Aku punya teman-teman yang menyenangkan. Aku bisa belajar banyak di sini. Satu-satunya yang membuatku tak betah cuma itu." Dengan dagu aku menunjuk ruang direktur. Mbak Nia dan Mbak Rossa terkekeh.

"Ngga boleh gitu, Dil. Kamu kan anak kesayangannya." Sahut Mbak Nia. Aku mencibir. Anak kesayangannya? Hah, yang benar aja."Ngga percaya? Buktinya kemana-mana kamu diajak."

"Sebagai kacung? Atau sebagai budak?" Sahutku sewot. Tawa mereka berdua langsung pecah.

"Uhuk...uhuk.." tiba-tiba terdengar suara oramg terbatuk di balik kubikel. Kami saling pandang, tak berani memutar leher menoleh ke arah sumber suara karena kami tahu suara siapa itu.

Jangan-jangan dia mendengar pembicaraan kami. Lebih tepatnya ucapanku yang sembrono tadi.

"Fadilla, ke ruanganku segera!" Perintahnya tegas begitu si empunya suara nongol dari balik kubikel. Aku menelan ludah dengan berat.

the King of MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang