Chapter 28: sekilas tentang Revan

445 41 6
                                    

Sekilas tentang Revan.
Seperti yang kusebutkan, kami berteman sejak TK sampai SMP. Setelah lulus SMP kami melanjutkan sekolah di jenjang berbeda. Aku masuk SMK sedangkan Revan masuk SMA.

Dari latar belakang ekonomi, keluarganya termasuk golongan menengah. Ayahnya seorang  pegawai kelurahan sedangkan ibunya seorang pedagang. Lebih tepatnya pemilik toko kelontong.  Dia anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya perempuan kelas 8 SMP. Keluarga kami memang saling mengenal sejak dulu. Apalagi orangtua bapak tinggal di kampung yang sama dengan keluarga Revan.

Aku dan Revan memang berteman sejak dulu namun kami baru dekat sekitar dua tahun belakangan. Tidak termasuk setahun setelah kami putus. Hubungan kami pun berkembang karena kami merasa saling nyaman satu sama lain. Kami sering ngobrol tentang apa saja. Dan selalu nyambung. Itu sebabnya kami sepakat menjalin hubungan lebih jauh meski kenyataanya tak jauh beda. Hanya status saja yang berbeda.

Secara fisik, visual Revan tak terlalu buruk juga tak terlalu tampan. Standar wajah laki-laki Indonesia. Posturnya juga biasa saja. Tak terlalu jangkung maupun pendek. Tak gemuk juga tak kurus. Pokoknya pas aja. Kepribadiannya yang supel dan ramah yang menjadi magnet sehingga banyak orang tertarik padanya.

Lihat! Seberapapun rasa benciku, aku tetap bisa menilainya secara objektif. Karena memang dia seperti itu. Bahkan kami dulu berpisah dengan cara baik-baik. Aku saja yang keburu kesal karena ternyata ada faktor X yang menyebabkan berakhirnya hubungan kami. Lagipula mungkin benar cinta pertama adalah yang paling berkesan.

"Fadilla, tak kusangka kita bisa bertemu di sini." Ucapnya dengan senyuman malaikat. Aku sudah mati kutu. Sebenarnya tujuanku menghindarinya bukan karena kesal namun karena senyumannya itu. Aku memang kesal tapi yang kutakutkan, perasaanku bisa goyah hanya karena melihat ia tersenyum.

"Iya." Jawabku datar.

"Kenapa kamu sepertinya menghindariku?" Tanyanya sembari duduk di kursi tak jauh dariku.

"Ngga. Perasaanmu aja kali." Sejak kapan kamu pandai berbohong Fadilla??

"Syukurlah kalau begitu."sahutnya dan lagi-lagi tersenyum. "Ayo kita keluar! Pohon jambu di belakang rumah berbuah lebat. "

"Hanya berdua?" Tanyaku, dia mengangguk tanpa beban, "Ngga ah. Nanti orang mikir macam-macam."

"Semua orang sudah tahu..."Sahutnya santai. Aku membelalakkan mata, apa? Orang-orang sudah tahu? Jangan-jangan orangtua kami juga sudah tahu? Namun sebelum aku salah paham, dia menambahkan. "Mereka sudah tahu kita berteman sejak kecil. Kamu masih ingat kan, kita dulu sering memanjat pohon jambu itu saat kita masih SD?"

Aku menyeringai. Ternyata. Aku menjadi curiga, jangan-jangan hanya aku yang menganggap hubungan ini bertambah serius. Jadi hanya cinta sepihak bagiku? Ah, tidak. Kuingat-ingat lagi. Sepertinya dia pernah mengajakku jadian dulu.

"Bagaimana?" Pertanyaannya menuntut. Aku menoleh ke kiri-kanan, ternyata bulik sudah tidak ada. Beliau sudah bergabung dengan golongan tua di dalam rumah.

"Panas." Kilahku.

"Tidak kok. Kan daunnya rimbun." Maksa banget ini orang. Kalau aku berkelit mencari-cari alasan, itu artinya aku menolak! Ngga peka banget jadi cowok. "Kita kan ngga pergi jauh, Dil. Cuma di belakang rumah kok."

Menyerah. Aku mengikutinya beranjak ke belakang rumah lewat pintu belakang dapur. Lagipula aku penasaran kenapa orang ini maksa banget mengajakku metik jambu. Ngga elit juga, masa metik jambu sih.

"Ngga panas kan?" Tanyanya saat kami sampai di bawah pohon jambu air yang rimbun. Daunnya membentuk kanopi dengan warna hijau gelap dihiasi warna merah di sana-sini. Warna buah jambu yang ranum. Dulu kami memang sering memanjat pohon ini lalu rujakan di bawahnya. Hampir setiap minggu aku datang ke rumah simbah. Apalagi temanku di sini banyak. Tak cuma Revan.

the King of MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang