H+1 lebaran, Ratna geger mengajak melancong ke WGM. Awalnya aku menolak. Iyalah, mereka pasti bersama pacar masing-masing lalu aku? Dicuekin pasti. Tapi bukan teman-temanku kalau menyerah. Akhirnya dengan segala bujuk rayu serta jaminan aku tidak akan ditinggal sendirian, aku ikut berangkat.
Dengan mengendarai sepeda motor, aku bertolak ke WGM. Suasana WGM sangat ramai. Biasa saat libur. Apalagi ini libur lebaran. Banyak pemudik yang liburan ke sini bersama keluarga. Ngenes juga nasibku. Datang ke sini sendirian padahal semua orang datang ramai-ramai.
Aku celingukan di tempat parkir. Keempat kawanku belum ada yang muncul. Jangan-jangan mereka malah sudah masuk. Kutelepon Ratna. Lama sekali angkatnya. Tapi terdengar suara angin dan dia bicara dengan berteriak. Dia masih di jalan.
Tak seberapa lama, Netta datang bersama pacarnya, Dito. Disusul Fida dan Anton. Lalu Bella dan pacar barunya tentu saja. Aku belum kenal. Setelahnya baru Ratna.
Baru setengah jam kami masuk dan aku sudah merasa dikhianati oleh teman-temanku. Seharusnya aku tak terbujuk rayuan gombal mereka. Sekarang aku terlantar di tepi waduk sendirian. Mananya yang mau menemani. Seharusnya aku paham kalau mereka lama tak jumpa dengan para pacar sehingga butuh waktu untuk berdua.
Kamu pernah dapat pelajaran Bahasa Indonesia yang menjelaskan tentang majas ironi? Lalu gurumu memberi contoh 'dia merasa kesepian di tengah keramaian'. Aku mengalami ironi itu.
Mau pulang sekarang, masa baru datang sudah pulang. Sayang tiketnya. Tak apa sendirian. Sambil menikmati angin waduk yang sepoi-sepoi, aku memesan es kelapa muda.
Kulayangkan pandangan ke berbagai arah. Beberapa keluarga bermain air di tepi waduk, ada yang mancing. Di permukaan waduk, beberapa perahu berlayar membawa beberapa orang berwisata. Intinya mereka datang beramai-ramai.
Teman-temanku juga. Masa mereka pacaran ke sini. Di sini kan ramai. Banyak anak-anak pula. Jalan-jalan lihatnya monyet bergelantungan. Dimana romantisnya coba. Ke pantai kek, ke Tawangmangu kek, atau kemana gitu. Kemarin aku sudah protes sebenarnya. Jawabannya sungguh menohok.
"Kita kasihan sama kamu, Dil. Kamu kan jombles dan rata-rata yang ke tempat seperti itu adalah pasangan. Kamu nanti makin miris nasibnya melihat para sejoli itu. Kalau di WGM kan banyak orang. Jadi setidaknya kamu ngga bakalan kesepian." Kilah Ratna. Apanya? Aku tetap sendiri sekarang. Harusnya aku tadi ngajak siapa gitu biar tidak bosan.
"Naik komidi putar, Dil. Seru lho." Usul Netta sebelum meninggalkanku tadi. Aku hanya bisa menghela napas kasar. Akan kuingat hari ini, selalu. Jangan sampai aku mengulang kembali hari ini. Diingat-ingat Fadil, jangan mau diajak anak-anak itu pergi pacaran kalau endingnya bakal kesepian!!
Hapeku bergetar, Mas Fandy? Tumben sekali telepon. Ada apa? Tak perlu berpikir panjang, aku langsung menerima panggilannya.
"Lagi dimana Dil? Kayanya ramai banget?" Tanyanya setelah berbasa-basi tanya kabar dan lainnya.
"Lagi di WGM?"
"WGM?"
"Waduk."
"Oh.. Sama teman-temanmu?"
"Iya. Tapi mereka sama pacar masing-masing." Jawabku namun aku mendadak terdiam. Bukankah Mas Fandy menyukai salah satu temanku. Jangan-jangan jawabanku membuatnya kecewa. Tapi kemudian terdengar suara tawa.
"Jadi kamu menemani teman-temanmu pacaran? Jadi obat nyamuk? Atau malah sekarang kamu sedang sendirian?"
Untuk pertama kalinya aku merasa kesal pada Mas Fandy. Dirasakan saja menyebalkan kenapa harus dia ucapkan.
"Hehe...sori..sori. Jangan manyun dong!" Eh kok tahu? "Aku temenin deh, lewat telepon tapi."
Memang tak ada alasan untuk merasa kesal pada Mas Fandy. Dia selalu bisa memperbaiki mood yang jelek. Bahkan mendengar suaranya saja sudah merasa ditemani. Moodku sudah nyaris normal andai saja aku tak melihat hal yang seharusnya tak kulihat. Tenang. Bukan hal yang tak senonoh. Ini tempat umum. Hanya sebuah pemandangan yang membuat penilaianku terhadap Revan kembali minus.
KAMU SEDANG MEMBACA
the King of Monster
Fiksi UmumGenre: fiksi umum, comedy Punya bos menyebalkan? Bukan impian setiap orang. Namun terjebak di dalam sebuah perusahaan dengan bos menyebalkan, bukanlah sebuah pilihan di saat era banyak phk seperti ini. Apalagi kondisi ekonomi memaksa hati untuk mena...