Chapter 39: si anak magang

427 34 4
                                    

"Oh, kamu yang magang itu?" Nada suara Pak Adit berubah melembut. Tapi aku merasakan sesuatu yang tidak beres dari nada suara dan seringaiannya. Aku menggigit bibir bawahku dengan gugup. Apa yang akan si boss ucapkan?

Aku tak begitu mengerti situasi apa yang sedang kuhadapi sekarang. Tapi firasatku mengatakan ini bukan hal yang baik.

"Iya, Pak. Saya magang di divisi pemasaran." Jawab Revan antusias. Dia menyodorkan tangan mengajak si Boss bersalaman. Lagi-lagi si Boss menyeringai. Dia kemudian menyambut uluran tangan Revan. Bahkan ia menjabat tangan Revan begitu kuat hingga Revan sedikit meringis.

"Kalian berdua ikut ke ruangan saya! Kita bicara di sana." Ucap Pak Adit. Tanpa menunggu jawaban dari kami, dia membalikan badan dan kembali berjalan menuju ruangannya.

Kedatangan kami yang mengikuti si Boss menuju ruang pimpinan tentu menjadi pusat perhatian. Para emak rumpi melongok penasaran dari balik kubikel. Pervita memandangku seraya bertanya dengan bahasa isyarat. Itu siapa? Begitu kira-kira. Kubalas dengan bahasa isyarat juga, nanti kuberi tahu.

Aku juga penasaran, apa yang mau dibicarakan si Boss sampai harus ke ruangannya. Apakah sesuatu yang penting? Emang sepenting apa sih si Revan ini?

Dari gerak-geriknya, Revan agak gugup begitu tahu kami memasuki ruang direktur. Dia sepertinya telah menyadari kekhilafannya. Makanya lain kali jangan sok tau.

"Silakan duduk!" Perintah Pak Boss. Kami berdua duduk berseberangan meja dengan si Boss.

"Maaf, Pak. Saya salah sangka. Anda ternyata CEO perusahaan ini." Ucap Revan. Pak Adit tersenyum miring. Ia mengibaskan tangan sok budiman.

"Tak apa. Sekarang kamu sudah tahu." Jawab si Boss dengan sombong. "Jadi kamu anak magang yang ada di divisi pemasaran? Siapa namamu tadi?"

"Revan Pak."

"Oke, Revan. Apa hubunganmu dengan Fadilla? Sepertinya kalian sudah saling mengenal." Aku dan Revan saling pandang. Pikiran kami, kuyakin sama. Kami sedang berusaha menyamakan persepsi tentang hubungan kami. Namun pandangan kami berbeda.

"Dia teman saya Pak." Jawabku sebelum Revan menjawab.

"Aku tidak tanya kamu. Aku tanya sama Revan." Balas Si Boss ketus.

"Kami berteman Pak." Jawab Revan. Fiuhhh lega. Ternyata telepati yang kulakukan tadi berhasil. "Tapi dulu kami sempat berpacaran."

GUBBBRAAK!!! Aku nyaris terjungkal. Aku melotot ke arah Revan. Apa dia tak punya muka? Buat apa dia mengatakan hal itu? Mengatakan kita berteman saja, sudah lebih dari cukup buat kami. Kenapa pakai embel-embel 'dulu pernah pacaran'?

"Oh, ya?" Dengus Pak Adit singkat. Aku tak sempat mengamati bagaimana ekspresinya karena aku terlalu sibuk menatap geram pada Revan. "Sekarang?"

"Kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi, Pak." Tukasku.

"Aku bertanya pada Revan!" Lagi-lagi aku dibentak. Kali ini terdengar lebih sadis. Revan tampak tenang. Dia seolah tak melihatku yang menatapnya geram.

"Jika saya masih diberi kesempatan." Jawaban Revan sungguh membuatku ingin menghilang dari muka bumi. Muka badak ya dia. Buat apa coba ngomongin hal itu ke pimpinan? Emang penting buat kariernya? Pak Adit juga kenapa pakai tanya hal seperti itu? Ngaruh gitu buat insentif kami? Maksudnya ada tunjangan pacaran. Seperti tunjangan anak istri.

"Oke, itu urusan kalian berdua." Kata Pak Adit. Nah, sadar kan kalau itu privasi. "Yang ingin saya sampaikan padamu, Fadilla ini asisten pribadi saya. Dia mengurusi kebutuhan saya secara pribadi. Jadi hampir setiap waktunya disibukkan dengan urusanku. Untuk itu jika kamu berniat menjalin hubungan dengannya maka kamu harus merelakan waktunya untukku. Kamu mungkin hanya bisa bertemu dengannya seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Kamu juga tidak boleh cemburu karena dia akan lebih dekat denganku daripada denganmu."

the King of MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang