Aksananta 31 ✯ Pidibaiq

6.3K 469 10
                                    

Selamat membaca.

Sesampainya dirumah Ananta langsung dihujami banyak pertanyaan oleh Sabina. Ia mendengus kesal kearah adiknya, sangat rewel.

"Kata dokter gue udah membaik, Sabina. Malahan gue sekarang sudah masuk ke stadium satu bukan dua lagi." Ucap Ananta menjelaskan.

Sabina melirik tajam, "Bener? Boong lo, ga percaya gue."

"Lo mau penyakit gue makin parah, ya? Padahal gue memang udah membaik. Lo juga sebelumnya suruh gue supaya cepat sembuh, sekarang gue udah hampir sembuh lo malah ga percaya." Sentak Ananta.

Sabina menunduk takut, "Oke deh, Bina cuma takut kalo penyakit kakak makin parah. Tapi, karna penyakit kakak udah hampir sembuh Bina ikutan senang. Yaudah, Bina balik kekamar dulu."

Ananta menghela nafas setelah Sabina keluar dari kamarnya, ia buru-buru menyembuhkan hasil pemeriksaan nya tadi ditempat aman supaya tak ada yang melihatnya. "Lagi dan lagi gue cuma bisa ngomong, Maaf sama lo, Bin." Ucapnya penuh penyesalan.

Ananta membuka handphone nya karna ada notif masuk, ternyata itu dari Arsen, partner cuci darah nya.

0852735***: Ana, gue Arsen.

Ananta: Oh oke, Ar.

Arsen: Sv ya.

Ananta: Siap👌👌

Ananta mematikan handphone nya dan setelah itu langsung menuju alam mimpi.

Aksara dan Ananta semakin dekat, bahkan dimana ada Ananta disana ada Aksara. Mereka bagai Kanvas dan kuas sekaligus tinta yang tak bisa dipisahkan.

Semenjak Jeano memberi tahu Aksara jika dia sudah memiliki kekasih, ia sangat senang. Jadi, ia tak punya lagi saingan.

"Ana, lo mau makan seblak ga? Gue beliin."

Ananta menggeleng, "Engga deh, Sa."

"Lo mau apa? Gue beliin."

"Gue mau beli buah apel aja."

"Oh lo suka buah apel, ya? Soalnya akhir-akhir ini gue sering liat lo makan apel."

Ananta tersenyum tipis kemudian mengangguk. "Yaudah, ayo kita beli apel banyak-banyak!" Seru Aksara.

Setelah selesai membeli apel mereka langsung kembali melanjutkan perjalanan. Aksara memutuskan akan mengajak gadis itu ke Dago.

"Na, ke Dago kan?"

"Iya, Aksa."

"Oke!"

Aksara melirik Ananta, ia tersenyum tipis. "Na, lo tau ga?"

"Apa, Sa?"

"Lo itu adalah mahakarya Tuhan yang paling sempurna yang lahir ketika Tuhan sedang tersenyum."

Ananta menoleh kebelakang, ternyata mereka baru saja melewati bawah jembatan penyebrangan dekat gedung Merdeka dijalan Asia-Afrika. Ada Qoutes karya Pidibaiq yang terpampang jelas di bawah jembatan itu.

"Gombalan aa Bandung receh banget." Kekehnya.

Aksara tertawa pelan, "Gue ga gombal, emang kenyataan."

"Iya deh iya." Jawab Ananta.

"Ana, jangan lari-lari nanti jatuh."

"Ayo Aksa, cepetan."

"Iya-iya, ini gue udah cepet. Stop tunggu gue,"

Ananta memberhentikan langkah kakinya dan menunggu Aksara, Aksara langsung menangkap dan memegang tangan Ananta erat.

"Nakal!"

"Lo sih lama jalannya."

"Lo sih ngapain lari-lari, jatuh nangis!"

Ananta berdecak sebal, "Nyenyenye."

Aksara mengacak-acak rambut gadis itu, "Lucu."

Mereka berdua pun kembali berjalan beriringan dengan tangan yang terus menggenggam erat satu sama lain.

Tanpa di sadari ada dua pemuda yang sedari tadi memperhatikan mereka, salah satu diantaranya tersenyum miris.

"Dia suka sama Ana."

"Dia siapa?"

"Aksara. Jadi, lo kapan mau ketemu, Ana?"

"Gue gatau, Gam. Tapi, secepatnya gue bakal ketemu sama dia."

"Dia pasti bakal kaget banget kalo tau lo sebenarnya masih hidup, Zra."

"Gue bakalan cerita semuanya ke dia nanti, Gam. Tapi, gue mau cari waktu yang tepat dulu." Ujar Ezra.

"Iya, Zra. Ayo kita pulang, lo harus istirahat."

AKSANANTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang