Selamat membaca.
Setelah kurang lebih lima menit mondar mandir didepan ruangan, kini Aksara memberanikan diri membuka pintu ruangan tersebut.
Ia menghampiri Ananta dan duduk tepat dihadapannya. "Ana, ini bunga buat lo." Ujar Aksara sembari menaruh bunga tersebut di samping Ananta.
Ananta menerimanya, "Makasih ya. Lo kemana aja baru datang sekarang?" Kekeh Ananta.
"Sorry, gue ga berani jengukin lo."
"Kenapa?"
"Gue aja gatau kenapa."
"Aneh lo."
"Ana, gue mau jujur. Tapi takut lo malah kaget."
"Kenapa?"
"Kalo gue bilang gue suka sama lo, tanggapan lo gimana?"
Ananta tampak tenang dengan pertanyaan itu, "Kalo lo suka sama gue, itu hak lo. Tapi bukannya lo tau gue punya pacar?"
"Maaf, Ana, bukannya cowok lo udah meninggal? Lo belum lupain dia? Gue ga maksa kalo memang gitu, karna gue tau lupain orang tuh susah banget."
"Dia masih hidup, Sa."
"Maksud lo?"
"Panjang ceritanya, lain kali gue ceritain. Gue lelah, mau tidur."
"Ana? Gue udah suka sama lo dari lama, lo beneran ga mau jadi cewek gue? Gue sayang sama lo, Na." Lirih Aksara.
Ananta tersenyum tipis, tangannya terulur untuk mengelus rambut Aksara. "Gue jawab besok ya?"
Aksara mengangguk cepat, "Gue terima apapun jawaban lo, Na."
"Yaudah lo pergi aja, lo butuh tenaga untuk dengar kabar baik dari gue besok." Kekeh Ananta.
Aksara beranjak dari tempat duduknya, ia menggenggam tangan Ananta yang terasa dingin, "Ana." Panggilnya pelan.
Cup! Aksara mendaratkan ciuman disudut bibir Ananta, "Gue pulang dulu, gue tunggu kabar baiknya, Na. Oh iya, semoga lo cepat sembuh!" Ucap Aksara kemudian meninggalkan Ananta sendirian disana.
Ananta menghela nafas berat setelah kepergian Aksara, ia melirik jam dinding kemudian beranjak pelan dari kasur.
"Maaf." Lirihnya.
✧
"KAK ANA? LO JAHAT KAK! GUE BENCI SAMA LO!" Sabina berteriak sembari menjambak rambutnya. Ia terduduk lemas disamping jenazah Ananta. Bahkan, untuk sekedar memberi tahu keluarganya ia tak sanggup.
"Mbak udah ya, biarin kakaknya tenang disana." Ujar seorang perawat.
"Ini salah kalian! Kalo kalian awasi kakak saya ga mungkin dia nekat bunuh diri!"
"Maaf, kami tidak tahu jika ada barang tajam di sana."
Sabina menggenggam tangan dingin Ananta, "Kak, lo bahkan belum dapat keadilan." Isaknya.
"Jenazah sudah harus di bawa kerumah." Perintah sang dokter.
Sabina beranjak di bantu oleh salah satu perawat, ia diarahkan menuju ambulance yang sudah tersedia.
Sepanjang perjalanan ia hanya diam sembari menatap kosong ke arah Ananta yang sudah di tutup menggunakan kain. Air matanya bahkan tak bisa keluar lagi akibat terlalu lama menangis.
Sesampainya di depan rumah, Sabina lagi lagi di bantu untuk masuk kedalam. Sedangkan kedua orangtuanya di landa kebingungan akibat ada ambulance yang terparkir didepan rumah mereka. Terlebih lagi ketika melihat sang anak dalam keadaan miris.
"Sabina, apa yang terjadi?" Tanya sang bunda.
"Kak Ana meninggal, Bun." Ujarnya.
Bunda mematung, "Apa yang terjadi, Sabina?" Teriak bunda sembari menggoyang-goyangkan tubuh Sabina.
Bruk! Belum sempat menjawab, Sabina pingsan tak sadarkan diri.
✧
"Ana? Ini yang lo bilang kabar baik?"
Aksara menatap gadis yang sudah terbujur kaku dihadapannya, ia bahkan tak henti-hentinya mengeluarkan air mata akibat tak percaya apa yang telah terjadi didepannya.
Aksara di ajak teman-temannya untuk menjauh karna ingin memberikan ruang untuk keluarga yang tengah berduka. Dengan langkah pelan ia mengikuti teman-temannya.
"Secepat itu?"
"Ana lo beneran?"
"Ga lucu, Na."
"Ana lo jahat sumpah!"
"Sorry, Kita boleh gabung?"
"Boleh, kak."
"Gue tadi mau kesana, tapi ga enak disana lagi ada keluarganya. Gue ga nyangka."
"Apalagi gue, kak."
"Kalo tau kemarin terakhir gue liat dia, gue bakalan habisin waktu berdua sama dia." Lirih Gama.
"Ini salah gue, Gama! Salah gue yang ga nyamperin dia malam itu! Kalo gue nyamperin dia, dia ga mungkin mati!" Teriak pemuda disampingnya.
"Ezra, bukan salah lo."
"Gue benci diri gue sendiri, Gam. Dia bilang mau cerita semua ke gue, gue nyesel malam itu ga datang. Gue nyesel, gue beneran kecewa sama diri gue sendiri!"
Gama dan yang lainnya hanya terdiam, tak tahu harus mengatakan apa.
"Harusnya kita berjuang bareng-bareng biar sembuh, Ta. Tapi kenapa akhirnya kamu milih pergi duluan padahal kamu belum di jemput?" Lirih Ezra. "Aku janji bakalan terus datang bawain bunga tulip kesukaan kamu." Sambungnya, ia menoleh ke arah Gama dan bergumam pelan. "Kalo gue udah gada, lo yang harus gantiin tugas gue. Lo harus janji sama gue untuk bawa bunga tulip ke pemakaman dia."
Gama mengangguk lemas, "Lo pasti sembuh, buktiin ke Ana kalo lo bisa sembuh."
"Gada alasan gue buat tetap hidup, Gam. Gue hidup buat dia, lo tau sendiri gue bela-belain biar cepat sembuh agar bokap izinin gue ketemu dia. Tapi nyatanya dia udah lebih dulu pergi."
"Lo harus tetap hidup, Ezra!" Bantah Gama tak terima akibat penuturan Ezra.
"Alasan gue bertahan hidup cuma dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSANANTA
Teen FictionBagi Aksara, Ananta itu ibarat sebuah Kanvas dan ia kuas sekaligus tinta-nya. Aksara membutuhkan Ananta, seperti Ananta membutuhkan kuas dan tinta untuk melukis. Hanya ketidak sengajaan yang membuat mereka bertemu, yaitu ketika ia menemukan sosok An...