Selamat membaca.
Kegiatan cuci darah Ananta sudah selesai dua jam yang lalu, kini ia tengah disuruh dokter untuk istirahat sejenak.
"Ayo kita pulang." Ajak Arsen.
Ananta langsung beranjak dari hospital-bed dan keluar dari ruangan itu di ikuti oleh Arsen.
"Barengan aja atuhh." Ucap Arsen. Ananta mengangguk kemudian langsung menyamakan langkah kakinya.
"Lo kerumah gue aja, ya? Ga enak kalo dirumah lo sendirian."
"Gausah, gaenak gue. Udah ngerepotin lo juga."
Arsen tersenyum tipis kemudian mengusap pelan surai rambut Ananta, "Gak ngerepotin. Stop saying that, gue udah anggap lo kayak adek kandung sendiri, jadi gue seneng kalo lo repotin."
"Kenapa orang baik selalu datang pas kita udah mau mati, ya?" Ucap Ananta lirih tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya.
"Yaudah deh, ayo."
✧
"MAMIII PAPII AKU DATANG, Liat nih aku bawa awewe geulis." Teriak Arsen.
Kedua manusia berbeda gender yang tampak masih awet muda mulai mendekat. Mami Arsen mulai menjewer telinga anaknya, kemudian menatapnya tajam.
"Heh Jamal! Jangan ngajerit atuh, kasian tetangga! Nih mulut mami lakban ya lama-lama!"
"Aduh mii, sakit. Lepasin atuh nanti telinga aku merah."
Mami pun melepaskan jewerannya, ia beralih menatap Ananta sembari tersenyum tipis.
"Mami mah malu-maluin aja, kan aku jadinya malu sama Ana." Kesal Arsen.
Bagaikan angin lewat, Mami sama sekali tak menghiraukan Arsen, ia langsung mengajak gadis itu untuk duduk di sofa. Arsen berdecak sebal kemudian ikut duduk di sofa.
"Maneh saha, manis?" Ucap Mami lembut dengan logat Sunda nya.
"Aku Ana, Tante. Temennya bang Arsen." Jawab Ananta sembari tersenyum tipis.
"Boong mi, bukan temen. Ana adek aku. Barusan aku pungut di deket selokan."
Ananta berdecak sebal, Mami yang melihat itu langsung mengelus pelan bahu Ananta. "Jangan di dengerin, lagian masa awewe geulis gini nemu diselokan."
"Iya tuh, mi! Padahal kan Arsen yang ketemu diselokan." Sambar papi sembari mengirup teh.
"Papi mah jahat! Sama aja kayak mami, mending aku cari papi mami baru." Ketus Arsen.
"Sok atuhh kalo aya yang mau, ambil aja. Mami sama papi mah ikhlas lahir batin."
"Jadi, maneh saha? Pacarna Arsen?" Tanya Papi.
"Udah Arsen bilang kalo Ana adek nya Arsen, pikun!"
"Heh gaboleh gitu, bang. Kualat lo sama orangtua sendiri." Omel Ananta. "Aku temennya bang Arsen, om. Tapi bang Arsen ngeclaim aku jadi adeknya."
"Sembarangan kamu, Sen! Pake Ngeclaim anak orang segala."
"Suka-suka Arsen, lagian kalian disuruh bikinin adek buat Arsen pada gamau, yaudah Arsen cari aja."
Ananta tersenyum kikuk, astaga jadi itu alasan Arsen menganggapnya sebagai adik.
"Kalo kamu risih di anggap adek sama Arsen bilang aja ya, nak."
"Engga kok, om. Malahan saya senang kalo punya Abang kayak bang Arsen."
"MAMI PAPI AYO PASUKIN ANA KEDALAM KARTU KELUARGA KITA!" Teriak Arsen.
Plak! Tangan mulus mami mendarat sempurna di punggung Arsen. "Kebiasaan kamu mah teriak mulu."
"Mulut-mulut ku, kok mami sewot?"
Hari itu Ananta habiskan dengan bercanda serta menikmati rasanya mempunyai keluarga yang harmonis bersama keluarga Arsen.
Ia berharap ia bisa merasakan ini dirumahnya, walaupun itu terkesan mustahil. Orangtuanya terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, Ananta dirumah itu hanya seperti parasit yang masuk kedalam sebuah keluarga harmonis.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSANANTA
Ficção AdolescenteBagi Aksara, Ananta itu ibarat sebuah Kanvas dan ia kuas sekaligus tinta-nya. Aksara membutuhkan Ananta, seperti Ananta membutuhkan kuas dan tinta untuk melukis. Hanya ketidak sengajaan yang membuat mereka bertemu, yaitu ketika ia menemukan sosok An...