Selamat membaca.
Ananta membawa peralatan melukisnya dan ia taruh ke dalam totebag. Ia menuruni anak tangga sembari memainkan handphone nya.
Melihat keluarga nya tengah berkumpul di ruang tamu ia menghampiri nya sebentar, meminta izin karna ia masih mempunyai sopan santun.
"Ana pergi dulu ya." Pamitnya.
"Mau kemana? Melukis deui?" Tanya sang bunda.
"Iya bun, boleh kan?"
"Boleh, tapi jangan larut ya pulang nya. Jam sepuluh udah harus pulang."
"Iya bunda. Ana pergi bye Ayah, bunda, Sabina. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, hati-hati."
Setelah kepergian Ananta, Sabina melirik kedua orangtuanya. Ia kemudian menampilkan deretan gigi putih nya kemudian menggaruk tengkuknya, seperti orang gila.
"Kenapa, sayang?" Tanya sang Ayah.
"Ayah, bunda kita healing yuk! Jalan-jalan ke mall." Ajak Sabina.
"Kalo tau mau jalan-jalan coba tadi ajak Ana. Sesekali, dia kan gak pernah ikut." Ujar bunda.
"Lain kali bisa, bun. Yaudah ayo kita jalan-jalan." Ajak ayah kemudian beranjak dari sofa.
✧
Angin sepoi-sepoi menusuk wajah Ananta. Suasana di Bandung malam ini cukup dingin karna baru saja hujan. Hampir di sepanjang jalan penuhi oleh orang-orang. Padahal ini bukan malam sabtu apalagi minggu, ini malam rabu.
Braga malam ini sangat indah, seperti biasanya. Tak akan pernah bosan menikmati setiap sudut kota ini. Ananta bersyukur bisa lahir di kota impian hampir setiap orang.
Ananta mendudukkan punggungnya di kursi depan Koffie Djawa tempat mereka berjanjian bertemu. Ia menikmati setiap sudut kota ini, kemudian mulai melukis di atas kanvas polos itu.
"Nunggu lama?" Tanya Aksara datang tiba-tiba.
Ananta menggeleng sembari terus melukis, "Gue baru sampe kok."
"Jadi, apa dare dari temen lo? Di suruh nemenin lo disini?"
"Lebih tepatnya di suruh nemenin gue ngelukis, bentar gue ambil photo dulu biar mereka percaya." Setelah Ananta selesai memotret ia kembali melukis, "Udah. Itu doang, gue cuma mau bukti itu. Kalo lo mau pergi lagi gapapa, gue mau lanjut ngelukis."
Aksara berdecak pelan, "Lo suruh gue kesini cuma karna itu? Buat gue capek aja! Gue tunggu lo aja disini sampe lo selesai ngelukis."
"Gue lama, nanti lo ga betah."
"Betah lah, lagian gue di rumah gada kerjaan juga, jadi mending nemenin lo." Gumam Aksara.
"Aksa coba lo campurin kedua warna ini, gue mau buat laut di sebelah gunung ini." Suruh Ananta sembari menyodorkan cat nya kepada Aksara.
Aksara menerimanya dengan senang ia mulai mencampurkan warna itu dan mengembalikan nya kepada Ananta.
Ananta kembali melukis. Aksara mengalihkan pandangannya melihat pemandangan di depannya, sesekali ia kembali melirik gadis yang fokus dengan lukisan itu.
"Selesai!" Seru nya.
Aksara menatap lukisan itu, "Selalu bagus, gue suka."
Ananta hanya tersenyum membalas. Ia melirik jam di tangannya, kini baru pukul setengah sembilan. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan dulu di Braga.
"Mau langsung pulang? Tanya Aksara.
"Engga, mau jalan bentar."
"Yaudah, ayo gue temenin."
Mereka berdua pun berjalan di trotoar sembari menikmati angin malam yang berhembus. Melihat lukisan yang berjejer rapi di pinggir jalan, serta penjual kaki lima.
"Lukisan lo, lo jual engga?"
"Dulu sih di jual, tapi sekarang gue lebih suka ngoleksi."
"Kenapa engga di jual lagi aja? Kan harga satu lukisan tuh mahal, jadi lumayan."
"Nanti gue coba lagi deh."
Aksara mengangguk. Mereka kembali berjalan santai menuju jalan Asia Afrika, jalan yang lebih banyak penjual kaki lima.
Mata Ananta tertangkap pada suatu objek. Keluarganya tengah keluar dari mobil sembari menggandeng Sabina. Mata Ananta memanas, ia mengepalkan tangannya.
"Lagi lagi gue gak di ajak." Lirihnya.
Aksara menatap gadis itu heran, mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Ia menepuk pelan bahu Ananta. "Lo kenapa?" Tanya Aksara.
Ananta menggeleng, "Gapapa, kelilipan doang. Udah ah gue mau pulang." Ananta langsung menjauh dari Aksara, meninggalkan Aksara di sana sendirian.
Aksara terdiam sejenak, ia melihat arah pandang Ananta tadi. Tapi tak ada apa-apa. Aksara menghela nafas panjang.
"Gue semakin penasaran sama lo, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSANANTA
أدب المراهقينBagi Aksara, Ananta itu ibarat sebuah Kanvas dan ia kuas sekaligus tinta-nya. Aksara membutuhkan Ananta, seperti Ananta membutuhkan kuas dan tinta untuk melukis. Hanya ketidak sengajaan yang membuat mereka bertemu, yaitu ketika ia menemukan sosok An...