Selamat membaca.
Gama menghampiri Sabina yang kini berada diruang tamu, Sabina menoleh dan melirik Gama.
"Temannya Ana udah balik juga?" Tanya Gama, Sabina mengangguk pelan.
Gama menyodorkan cokelat kepada Sabina, Sabina menyernyit bingung. "Buat gue?"
"Buat setan! Ya buat lo lah. Dikasih Aksara buat Ana tapi gue suruh Ana kasih ke lo aja."
"Kenapa gitu?"
"Ana alergi cokelat." Ucap Gama dan langsung pergi begitu saja.
"6 tahun gue tinggal bareng sama dia, gue baru tau kalo dia alergi cokelat." Gumam Sabina.
✧
Ananta menuruni anak tangga dan menuju dapur, ia merasa lapar dan berniat untuk memasak mie instan.
Sesampainya di dapur ia langsung memasak mie instan dan menambah toping telur dan sayur. Setelah itu ia duduk di meja makan dan makan dengan pelan.
"Kak."
Ananta menoleh mendapati Sabina yang ikut duduk didepannya dengan membawa sebungkus seblak.
"Kenapa?"
Sabina menggeleng, ia membuka plastik seblaknya dan ikut makan diatas meja bersama Ananta.
Memang mereka sering makan bersama, tapi biasanya berempat. Ini mereka hanya berdua, mereka merasa canggung satu sama lain tapi tetap berusaha setenang mungkin.
"Gue baru tau kalo lo alergi cokelat." Sabina membuka pembicaraan sembari memakan seblak nya perlahan.
"Lo terlalu sibuk caper ke orangtua gue, maka nya gatau."
"Hm, gue ga caper tapi emang mereka orang tua gue juga."
"Lo harus ingat lo cuma anak angkat. Masih mending lo ga gue usir."
"Lo gabisa ngusir gue, karna disini gue juga tuan rumah."
"Gue awalnya mau baik ya sama lo, tapi tingkah lo yang selalu caper ke orangtua gue buat gue muak! Terserah deh ambil aja semua yang gue punya, gue gak marah, gue gak peduli juga!" Ucap Ananta, ia langsung berdiri dan kembali ke kamarnya.
Sabina menatap punggung Ananta yang kian menjauh, matanya memanas, ia menatap seblak di depannya tak minat lagi, ia meremas sendok dan langsung pergi ke kamarnya.
Sesampainya di kamar ia mengunci kembali pintu itu dan langsung menangis sembari meringkup badannya.
Niat awalnya ingin mencoba memperbaiki hubungan saudara antara mereka berdua, tapi sepertinya alam semesta tak mengizinkan mereka menjadi saudara yang akur.
"Gue sebenernya sayang sama lo, kak. Maaf karna udah rebut perhatian orang tua lo, gue cuma pengen ngerasain disayang orang tua tapi maaf kalo cara gue salah, gue gabisa hentiin ini semua, gue udah terlanjur nyaman di fase ini walaupun harus merebut kebahagiaan orang lain."
✧
Selain suka melukis di kanvas polos Ananta juga suka melukis ditangan indahnya. Mengukir nama seseorang atau bahkan hanya sekedar menggores-gores.
"Gue terlalu lemah untuk merebut kembali perhatian orang tua gue, tapi, gue ikhlas kok kalo orang tua gue kasih perhatian sama Sabina, jadi kalo gue mati setidaknya mereka masih memiliki satu anak angkat yang paling mereka sayangi." Ananta tersenyum tipis sembari menatap darah yang terus keluar dari tangannya.
"Besok gue bangun lagi ga, ya? Kalo gue ga bangun lagi, gue harap gue ga di temuin dalam keadaan menggenaskan." Ucap Ananta kemudian langsung menutup matanya menuju alam mimpi.
✧
Ananta telah siap dengan seragam yang melekat ditubuhnya, ia menuruni anak tangga dan langsung berangkat sekolah tanpa memperdulikan Sabina yang terus-menerus berusaha mengajaknya berangkat bersama.
"Udah ya nak, mungkin kakak kamu lagi piket maka nya mau cepet-cepet."
"Anak itu memang kurang ajar!" Sahut Ayahnya.
"Udah gapapa kok, yah. Mungkin kak Ana memang lagi buru-buru, yaudah aku berangkat dulu, ya!" Ucap Sabina kemudian langsung berangkat sekolah menggunakan motor scoopy kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSANANTA
Genç KurguBagi Aksara, Ananta itu ibarat sebuah Kanvas dan ia kuas sekaligus tinta-nya. Aksara membutuhkan Ananta, seperti Ananta membutuhkan kuas dan tinta untuk melukis. Hanya ketidak sengajaan yang membuat mereka bertemu, yaitu ketika ia menemukan sosok An...