Bagian 7

2K 191 25
                                    

Pagi menjelang, matahari telah bersinar dengan terang dari ujung timur, sinar itu begitu menyilaukan mata pria yang perlahan membukanya. Krist menggeliat pelan, tanpa sadar bahwa rasa nyeri masih terasa pada sekujur tubuhnya. Ia merintih saat kesadarannya mulai penuh.

Krist mengangkat kepalanya kemudian mencoba mengingat apa yang terjadi. Otaknya kembali memutar memori yang terakhir Krist ingat, tubuhnya mulai gematar, cairan bening menetes tanpa bisa dicegah. Takut, ia takut sekali.

Krist segera bangkit dari ranjangnya dan bergerak menuju lemari, ia mengambil koper besar dan memasukkan barang-barang miliknya dengan kasar. Tidak peduli apa yang terjadi nanti, saat ini Krist tidak ingin bertemu dengan pria itu lagi.

"Krist, kau sudah bangun?"

Suara itu membuat tubuh Krist semakin bergetar ketakutan. Pria itu gila. Entah apa lagi yang akan dilakukan Singto sekarang. Sungguh, Krist sangat takut.

Singto mendekat dan menepuk pundak Krist pelan. Dengan secepat mungkin Krist menepis itu dan bergerak menjauhinya. Tangan kanan menjulur untuk mengambil koper dan tangan satunya menggenggam tas jinjing. Krist melangkah keluar tanpa menatap Singto sedikit pun.

"Kau mau kemana?"

Singto menyusul Krist dengan berlari kecil, tangannya berusaha meraih pergelangan pria yang lebih muda. Saat ia bisa menangkap, Singto mencengkramnya dengan kuat hingga membuat langkah Krist terhenti.

"Lepas, lepaskan aku!"

"Tidak, kau tidak bisa pergi dariku."

"Sialan. Apa maumu? Kau bilang aku penipu, 'kan? Ya, aku penipu, aku tidak bisa mengandung dan aku hanya memanfaatkanmu untuk mendapatkan uang. Sekarang lepaskan aku!"

"Tidak, kau tidak ingat berapa uang yang aku keluarkan untukmu? Aku tidak akan melepasmu dengan mudah. Jadi, kau tetap disini atau aku akan menempuh jalur hukum."

Rahang Krist mengeras, kepalan kuat ia layangkan ke wajah tampan Singto. Rasa takutnya kini berubah menjadi amarah. Jika saja Krist tidak mengontrol itu, bukan hanya pukulan yang akan Krist layangkan, melainkan belati.

"Silahkan saja, aku tidak takut. Aku lebih baik tinggal di penjara daripada rumah mewah tapi penuh derita." Krist mengambil kopernya dan meninggalkan Singto. Sebelum benar-benar pergi, Krist menoleh ke belakang. "Jangan pernah menemuiku lagi, aku sangat membencimu!"

Singto hanya memperhatikan langkah Krist yang menjauh. Entah kenapa tubuhnya terasa membeku, ia tak mampu melangkah untuk mencegah pria itu. Singto bingung pada diri sendiri, apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apa mungkin karena rasa bersalah telah menguasainya? Ya, pasti hanya rasa bersalah.

***

Krist melangkahkan kaki kembali ke rumah kontrakan lamanya, untung saja tempat itu masih kosong karena belum ada yang menyewa. Krist menarik kopernya dan meletakkan asal, ia menjatuhkan pantatnya pada kursi kayu di ruang tamu. Pandangannya kosong menatap lurus ke depan, pikiran mulai berkelana jauh pada kejadian saat pria itu menelanjanginya.

Tubuh Krist kembali bergetar, matanya menutup kuat, tangannya menggenggam erat kaos yang digunakan. Krist mencoba untuk melupakan, mencoba untuk baik-baik saja. Namun ia gagal, ingatan itu terus berputar membayangi. Krist benar-benar merasa dirinya sangat menjijikkan.

Memang seharusnya dari awal Krist tidak menyetujui ide gila yang diberikan oleh pria itu, mungkin kejadiaannya tidak akan seburuk ini. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan juga tidak akan membawa kehormatannya kembali.

Krist merasa lemah, kemalangan selalu menyertainya. Mulai dari orang tuanya yang direnggut sang kuasa secara paksa, adiknya yang sedang mempertaruhkan hidupnya di ranjang rumah sakit, dan dirinya yang telah hilang harga diri. Sekarang ia mulai ragu, adakah kebahagiaan dalam takdirnya?

Surrogate [SingtoxKrist]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang