Seorang pria menggunakan kemeja putih yang dibalut oleh tuxedo berwarna hitam sedang berdiri di depan cermin untuk melihat dirinya. Ketampanannya terasa hampa saat matanya tak lagi bercahaya. Rona merah menghias kerlingan mata, sebagai manifestasi atas kesedihan yang dirasa.
Ia kalah. Sekali lagi, ia kalah. Andai saja dirinya tak jadi pengecut saat itu, mungkin ia tak akan kehilangan separuh jiwanya. Harkat dan martabat membutakan hati hingga tak menyadari arti cinta. Ia salah langkah untuk kesekian kalinya.
Bodoh. Hanya itu yang bisa ia katakan pada dirinya. Namun, banyaknya sumpah serapa tak akan mengubah keadaan; tak berguna. Semua sudah terjadi, tak akan bisa kembali. Yang pergi telah lenyap, yang bersalah akan mendapat hukuman. Ya, hukuman seumur hidup berupa penyesalan tiada akhir.
Kakinya melangkah untuk mengantarkan sang pujaan hati dan buah cintanya ke tempat kekal abadi. Tangannya mengenggam erat bunga yang akan menjadi penghias pusara. Dalam setiap langkahnya terasa penuh derita, duka dan lara.
Air mata tak lagi terbendung saat peti mati masuk ke dalam tanah, tumpah ruah menetes membasahi pipi. Tak rela semakin terasa saat perlahan-lahan tanah menutupi benda persegi itu. Rasanya seperti mimpi buruk yang menjadi nyata.
"Kenapa kau disini?" Tanya seorang wanita dengan nada suara penuh amarah, "Kau bahkan tidak pantas menginjakkan kakimu di atas makam Krist."
Pria itu tak membalas, matanya hanya menatap nanar sebuah pusara atas nama kekasihnya yang kini tertancap di atas tanah. Bahkan ia tak memperdulikan wanita yang berjalan mendekatinya.
Plak
Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus pria itu. Si wanita pelakunya. Ia tak terima akan kehadiran seseorang yang sangat ia benci ada di pemakaman sahabatnya. Ia menganggap bahwa pria itu adalah akar dari segala masalah yang terjadi saat ini.
"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak menyakiti Krist, tapi ini apa? Kau membuatnya mati, Singto brengsek!"
Wanita itu kembali memukul tubuh Singto dengan brutal, meski tak dirasa sama sekali oleh sang empunya badan. Semua rasa sakit telah menghilang saat hatinya lebih menderita.
"Maafkan aku," ujar Singto.
"Maaf? Kau bilang maaf? Bahkan saat aku membunuhmu di depan makamnya pun tak akan menghilangkan rasa sakit yang Krist terima selama hidup!" Jawab wanita itu dengan wajah penuh dendam.
Singto menjatuhkan diri di depan gundukan tanah yang masih basah itu dan menangis hingga sesegukan. Perkataan wanita itu memang benar, bahkan dengan nyawa pun tak akan cukup untuk menebus rasa bersalahnya. Ia telah membuat hidup Krist seperti di neraka, mungkin lebih buruk dari neraka, dan kini pria manis itu telah pergi karena keegoisannya.
"Sekarang kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan? Kau mengorbankannya untuk memenuhi keinginanmu, apa ini yang kau bilang mencintainya?"
Pria itu lagi-lagi hanya diam tak bisa menjawab pertanyaan dari Fah karena ia merasa bahwa semua yang dikatakan itu benar. Cinta berarti memberi, bukan menyakiti. Tapi semua kata cinta yang ia ucapakan pada Krist justru berbalik menjadi belati tajam hingga menyayatnya dalam.
"Aku bersumpah, setelah ini hidupmu akan menderita!" Ucap Fah sebelum meninggalkan Singto begitu saja.
***
Beberapa hari setelah keluar dari inkubator, bayi laki-laki itu mulai diperkenalkan pada media. Singto dan Nutcha sama-sama memposting foto bayi itu di akun pribadi mereka. Bayi yang diberi nama Leonard Ruangroj itu memukau banyak mata karena ketampanannya.
Namun, postingan itu ramai karena pasangan suami istri itu hanya memposting satu bayi, seharusnya mereka memposting dua bayi karena Nutcha mengandung anak kembar. Lalu, dimana bayi satunya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate [SingtoxKrist]
Fanfiction[COMPLETED] Singto Prachaya. Pengusaha sukses yang namanya memasuki deretan orang terkaya di Thailand. Tak sedikit orang memujinya, wajah tampan nan rupawan, harta yang melimpah, dan kehidupan sejahtera. Semuanya terlihat begitu sempurna. Namun, dib...