Suara kunci pintu terbuka mengalihkan atensi Krist dari lamunan. Ia melihat seorang pria hendak masuk kamar yang ditempatinya. Krist hanya terdiam dan menatap kosong pria itu, tak ada lagi pancaran kegembiraan dan cinta yang tersirat dari mata bulatnya. Semua kepercayaan yang diberikan lenyap begitu saja hanya karena sebuah kata. Kini mereka kembali terasa asing.
Langkah besar Singto mendekat pada Krist, kemudian duduk di sebelah pria manisnya. Sekian detik mereka hanya diam sembari bertatap, tak ada kata yang mampu terucap dari keduanya. Mulut mereka sama terkunci, namun mata mereka saling menyelami.
"Krist," ucapan yang lebih tua untuk mengawali pembicaraan.
Yang dipanggil hanya diam tanpa ada respon yang berarti. Singto merasa lidahnya keluh, memanggil nama Krist saja membuat gejolak tak biasa dalam hatinya. Ia tak sanggup, sungguh. Jika waktu bisa diputar kembali, ia tak akan memilih jalan rumit ini.
"Aku tau kau marah padaku--"
"Aku tidak marah," sanggah Krist. Pria manis itu memutus pandangannya dan mengalihkan ke sudut lain, "Aku benci diriku yang tidak bisa melawan semua ketidakadilan yang terjadi padaku."
"Krist.."
"Aku benci diriku karena mengambil tawaran sialan yang kau berikan. Aku benci diriku karena aku terlalu percaya dengan omong kosong yang kau ucapkan. Aku benci diriku yang mencintai orang sepetimu!"
Singto tercekat, matanya memejam sesaat sebelum akhirnya membuka kembali dengan warna merah yang khas karena menahan tangis. Pria itu menggenggam tangan yang lebih muda, namun dengan cepat dihempaskan oleh Krist.
"Kau tidak memiliki hak untuk menyentuhku!" Ucap Krist dengan nada membentak.
Singto mengempalkan tangannya dengan erat untuk menahan semua emosi yang akan tumpah ruah. Singto menelan ludahnya dengan susah payah kemudian berkata, "Kau masih ingat apa yang pernah aku katakan padamu?"
Krist terdiam tak menjawab, pandangan matanya masih menatap ke arah lain tanpa berpaling sedikit pun. Namun, pria manis itu mendengarkan setiap ucapan yang keluar dari mulut Singto.
"Aku pernah berkata, apapun yang aku lakukan nanti, semua itu untuk kebaikan kita semua," lanjut Singto.
Pria manis itu tersenyum getir dan menatap Singto, mata mereka kembali saling bertatap, "Demi kebaikan kita bersama? Kebaikan yang mana? Apa yang kau maksud kebaikan itu dengan merebut twins dariku? Apa menurutmu kebaikan adalah membunuh cinta yang baru saja tumbuh dalam hatiku? Apa menyakiti perasaanku kau sebut dengan kebaikan? Katakan!"
"T-tidak, bukan begitu maksudku--"
"Aku tidak butuh semua omong kosongmu, khun Prachaya yang terhormat. Aku membiarkanmu menghancurkan hatiku berkali-kali, tapi aku tidak akan membiarkanmu mengambil tujuan hidupku. Aku bisa hidup dengan hati yang pecah belah, tapi aku tidak bisa hidup tanpa jiwa. Jika kau mengambil twins, maka kau juga akan membunuhku," tegas Krist tanpa ragu dalam setiap katanya.
Singto semakin tercekat, bahkan ia merasa udara dalam rongga dadanya kian menipis. Rasanya sesak sekali.
"Sing, ayo pergi!" Seru Rod di depan pintu kamar yang ditempati Krist.
Dengan rasa terpaksa, Singto beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Krist yang tak ingin melihatnya sama sekali. Sekilas sebelum pergi, Singto melihat lagi wajah orang yang sangat dicintainya itu. Sebuah bulir air mata jatuh dari pelipis matanya dan dengan cepat ia usap agar tidak terlihat.
Jika boleh, Singto ingin berlari untuk memeluk Krist dan membisikkannya beribu kata cinta, ia ingin menunjukkan pada Krist bahwa seorang Singto telah bertekuk lutut pada cintanya. Tapi tidak, pria lain yang kini mengawasinya pasti tak akan memberi izin. Singto kalah, ia tak bisa melawan kuasa ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate [SingtoxKrist]
Fanfiction[COMPLETED] Singto Prachaya. Pengusaha sukses yang namanya memasuki deretan orang terkaya di Thailand. Tak sedikit orang memujinya, wajah tampan nan rupawan, harta yang melimpah, dan kehidupan sejahtera. Semuanya terlihat begitu sempurna. Namun, dib...