Suara bel apartemen milik Singto berbunyi nyaring, membangkitkan seorang pria yang sedang asyik menenggak minumannya. Pria itu berdiri dan membuka pintu. Tatapan tajam ia layangkan beserta kedutan di sudut bibirnya. Tampak menyeramkan bagi siapa saja yang melihatnya.
Pria manis yang di depan pintu berjalan mundur untuk menjauhinya hingga tubuhnya berbenturan dengan anak buah Singto. Ia tau pria itu, pria yang ada di foto ruang keluarga milik kekasihnya. Pria itu adalah papa Singto.
"Aku sudah menunggumu," ujar pria baya itu dengan wajah tak bersahabat.
Krist menundukkan kepalanya, tak berani untuk menatap mata menakutkan itu. Sebenarnya tak jauh berbeda dengan mata Singto saat sedang marah, namun lebih tajam karena dihiasi dengan kebencian.
"Masuklah!" Titah Rod.
Tidak ada pilihan lain, mau tak mau Krist harus menuruti ucapan pria paruh baya itu. Kalau tidak, entah apa yang akan dilakukan Rod padanya. Krist menggenggam erat tas bagpack miliknya dan berjalan pelan masuk apartemen Singto. Dalam hati penuh harap agar semuanya akan baik-baik saja.
Rod menuju salah satu kamar dan membuka kuncinya, "Sing, lihatlah siapa yang datang."
Rod sengaja mengunci kamar dan mengambil ponsel milik Singto agar putranya itu tidak melakukan hal yang gegabah dan justru memperkeruh suasana. Pria paruh baya itu sangat tau sekecil apapun pergerakan Singto saat ini, media selalu mengawasi.
"Krist." Mata Singto terbelalak sempurna saat melihat pria manisnya ada di depan matanya. Singto mendekat dan memegang kedua bahu Krist, "Aku sudah bilang tunggu di Phuket, 'kan? Kenapa kau kemari?"
"Aku mengkhawatirkanmu, phi." Krist menyadari luka lebam yang ada di wajah Singto, "K-kenapa wajahmu luka? A-apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?"
"Aku," celetuk Rod dengan tegas.
Krist terdiam sejenak sebelum memberanikan diri untuk menatap wajah tegas itu. Ia takut, tapi rasa marahnya lebih tinggi dari apapun. Krist tidak suka ada orang yang menyakiti cintanya, bahkan itu orang tuanya sendiri.
"Kenapa anda tega lakukan ini? Phi Singto anakmu sendiri--"
Belum selesai dengan ucapannya, tangan Krist digenggam erat oleh Singto dengan tujuan menghentikan perkataannya. Singto sangat tau watak papanya, ia tidak ingin pria paruh baya itu semakin marah dan membahayakan Krist.
"Apa kau sadar posisimu sebelum bicara? Kau siapa berani mengataiku tega dengan anak sendiri?" Ujar Rod geram.
"Saya tidak peduli. Saya tau anda ayah kandungnya, tapi saya tidak akan tinggal diam anda menyakiti orang yang saya cintai," balas Krist tegas.
Rod menarik sudut bibir kanannya membentuk seringai, "Cinta? Ternyata kau lebih buruk dari dugaanku. Kau tidak lebih dari pria rendahan yang mengemis cinta agar membuat hidupmu lebih baik."
"Papa, Krist tidak seperti itu," protes Singto tak setuju.
Krist menarik nafas panjang dan mengadahkan kepalanya sebelum berkata, "Saya memang bukan siapa-siapa tapi saya mencintai phi Singto dengan tulus dan saya tidak pernah mengincar hartanya."
"Tidak mengincar hartanya?" Rod mengulangi kata, pria paruh baya itu kembali memasang air muka tak ramah, "Kau pikir aku tidak tau berapa uang yang dikeluarkan putraku untuk masuk ke rekeningmu?"
Singto terkejut dengan ucapan sang ayah, ia tak menyangka bahwa Rod mengetahui semuanya dengan cepat. Sedangkan Krist terdiam kaku, ia tak bisa mengelak lagi. Kata yang baru saja terlontar dari mulut Rod membungkam mulutnya. Memang benar, Singto sudah mengeluarkan jutaan baht untuk biaya rumah sakit adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate [SingtoxKrist]
Fanfiction[COMPLETED] Singto Prachaya. Pengusaha sukses yang namanya memasuki deretan orang terkaya di Thailand. Tak sedikit orang memujinya, wajah tampan nan rupawan, harta yang melimpah, dan kehidupan sejahtera. Semuanya terlihat begitu sempurna. Namun, dib...