Krist membaringkan dirinya di tempat tidur, meluruskan tubuh yang terasa lelah akibat terlalu banyak bergerak. Semua badanya terasa nyeri, bagian pinggang menjadi sasaran paling parah, rasanya seperti hampir patah. Krist sekarang sadar jika perjuangan seorang ibu sangat besar. Lelahnya bekerja tidak sebanding dengan lelahnya mengandung.
Untung saja Krist mengikuti saran Singto untuk kembali ke rumah, ia tidak membayangkan harus tidur disofa rumah sakit yang sempit dan keras, pasti punggungnya akan bertambah sakit.
Pria manis itu mulai mengelus perutnya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman pada sang jabang bayi. Hamil memang melelahkan, tapi kalau ingat dalam perutnya ada dua malaikat kecil, rasa lelahnya sirna.
Pelan-pelan ingatan membawanya pada masa kecil, dimana kedua orang tuanya selalu memberikan apa yang ia minta, bahkan kadang hal itu terasa berat, orang tuanya tak pernah mengeluh. Mereka bekerja keras untuk memenuhi keinginan Krist hanya untuk melihat senyuman terbit diwajah anaknya itu.
Jika dipikir, bisa saja mereka tidak menuruti keinginan Krist dengan berdalih tak ada uang. Tapi orang tuanya tidak begitu, mereka tidak pernah mengatakan seburuk apapun kondisinya pada Krist, papa dan mamanya itu tidak ingin membuatnya merasa sedih.
Air mata mulai berjatuhan, semua kenangan indah itu bermuculan keluar dari persembunyiannya. Kenangan yang tidak akan bisa terulang dan kenangan yang ia dapat sekali seumur hidup. Jika Krist bisa, ia akan memilih hidup dalam kenangan tanpa mengukir kisah baru yang akan berujung pada kubangan lara.
Krist membuang nafas beratnya, tangan kanan berusaha menyeka air mata yang keluar tiada henti, sedangkan tangan kiri terus memegang perut besarnya. Tidak, Krist tidak boleh sedih, dokter mengatakan jika Krist sedih maka bayi juga akan merasakan hal yang sama.
"Maafkan aku, princess."
Berbicara mengenai panggilan, Krist jadi teringat perdebatan kecil dengan Singto tentang jenis kelamin janin dalam kandungannya. Baik Krist atau Singto belum mengetahui jelas jenis kelamin janin itu, karena usia kandungan yang belum mencukupi sehingga bayi masih belum proses pembentukan secara utuh. Krist memanggilnya princess karena ia sangat suka anak kecil perempuan dan berharap anak itu berjenis kelamin perempuan juga.
Krist tidak salah, 'kan? Biar bagaimanapun anak itu juga miliknya, meski dalam surat perjanjian tertulis jika anak yang dikandung oleh Krist sepenuhnya akan menjadi milik Singto dan Krist harus melupakan bahwa ia pernah mengandung anak itu.
Tidak, tidak bisa. Jika dulu, mungkin Krist akan merelakan, toh ia juga tidak menginginkannya. Tapi, seiring berjalannya waktu, Krist mulai menyayangi anak itu dan tidak ingin berpisah dengannya. Mungkin itu adalah naluri seorang ibu yang perlahan muncul dalam dirinya, ada hasrat untuk selalu dekat dan melindungi sang buah hati.
Namun, apa Krist sanggup melawan Singto dengan segala kuasanya? Krist bagai hujan ditengah samudra yang tak memiliki arti apapun dalam dunia. Keberadaannya bahkan tak berpengaruh, ada atau tidak ada dirinya tak membuat perubahan. Lalu, bagaimana cara untuk mempertahankan miliknya?
Krist mengeratkan kedua tangan untuk memeluk perutnya, berharap dua calon manusia yang tumbuh di dalam sana dapat merasakan hangat dekapannya. Semoga keduanya dapat merasakan besar kasih tanpa syarat yang tercipta untuknya.
"Aku akan berjuang untuk kalian."
***
Suara pintu terbuka mengalihkan atensi Singto dari iPad miliknya, ia melihat beberapa suster dan seorang dokter memasuki ruangan untuk melakukan pengecekan rutin. Tubuh Singto berangsur membaik dan tidak ditemukan gejala penyakit lain, sehingga hari ini dokter memperbolehkannya untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate [SingtoxKrist]
Fanfiction[COMPLETED] Singto Prachaya. Pengusaha sukses yang namanya memasuki deretan orang terkaya di Thailand. Tak sedikit orang memujinya, wajah tampan nan rupawan, harta yang melimpah, dan kehidupan sejahtera. Semuanya terlihat begitu sempurna. Namun, dib...