Mobil yang dikendarai oleh Singto melaju membela jalanan Bangkok yang terlihat lalang karena malam hari. Sesuai yang dikatakannya tadi sore, Singto akan membawa Krist makan di tempat yang dia sukai.
Sebenarnya, Singto tidak tau banyak tentang Krist, ia hanya tau berdasarkan biodata yang dikumpulkan oleh anak buahnya. Selain itu, Singto tidak mengerti apapun. Pria itu juga enggan menceritakan dirinya pada Singto, mungkin memang Singto belum bisa membobol benteng pertahannya sehingga rasa percaya dalam diri Krist belum tumbuh secara penuh.
Singto melirik pria disebelahnya, dia hanya diam sembari menatap luar jendela, menyaksikan gemerlap kota bertambur cahaya. Sesekali senyumnya merekah, entah apa yang dirasa, sepertinya dia sedang gembira.
"Ada apa, Krist?"
"Kau lihat bangunan itu? Bangunan disebelah sana, yang tinggi itu." Krist mengangkat tangannya menunjuk suatu gedung, "Dulu, waktu aku masih sekolah, aku pernah memenangkan olimpiade matematika, hadiahnya uang dan paket menginap di Hotel itu selama 2 hari. Dari yang aku tau, hotel itu adalah hotel terbaik di Bangkok, oh tidak, terbaik di Thailand. Aku sangat senang waktu itu. Aku mengajak semua keluarga menginap bersama disana, ya, meskipun kita harus berbagi tempat tidur, tapi itu tidak masalah, kami sangat bahagia."
"Benarkah?"
Krist mengangguk semangat, "Hotel itu bagus sekali, tapi biaya menginap disana sangat mahal, satu malam saja bisa untuk membayar spp sekolahku selama satu semester."
Singto terkekeh, cara Krist bercerita sangat lucu, pergantian ekspresi wajahnya sangat cepat, terkadang senyum bahagia, terkadang mengerucut sebal, sungguh menggemaskan.
"Kau mau menginap disana lagi?"
"Tentu saja mau, tapi nanti setelah aku kaya."
Singto semakin tertawa dibuatnya, tawa renyah yang menggetarkan jiwa. Krist menoleh, menatap pria yang sedang terbahak menunjukkan deretan gigi putihnya, entah kenapa hal itu membuat tawanya juga ikut menguar di udara. Keduanya tertawa bersama.
"Tidak perlu menunggu kaya, jika kau mau, malam ini kita akan menginap disana."
"Kau pasti akan memotong uang bulananku untuk menginap disana, 'kan? Tidak perlu, karena aku butuh uang itu untuk pengobatan adikku."
Singto tersenyum kecil, "Kau selalu berprasangka buruk padaku, ya?"
"Ya, karena itu sifatmu, kau licik."
Pria yang mengemudi itu tersenyum kecut, jadi selama ini kesan itu tetap tertanam dalam benak Krist, bahkan setelah semua yang telah terjadi, Krist masih menganggapnya pria licik. Memang kesan pertama akan terbawa selamanya.
"Aku tidak akan memotong uang bulananmu, anggap saja itu sebagai hadiah dariku."
Krist mengerutkan kedua alis, "Hadiah? Aku sedang tidak berulang tahun."
"Tidak, bukan hadiah ulang tahun, tapi hadiah karena kau mau mengandung anakku. Lagipula, nantinya hotel itu akan menjadi milik anak yang ada dalam perutmu."
"Ha? M-maksudmu itu adalah hotel milikmu?"
Yang ditanya tidak menjawab, ia hanya menyunggingkan senyum sembari kembali fokus pada jalanan. Tempat yang mereka tuju sudah ada di depan mata, Singto mengurangi laju mobil dan menepikannya.
"Kita sudah sampai."
Krist memandangi sekitar, "Ini.. tempat nasi goreng kesukaanku?"
"Iya, beberapa waktu lalu kau tidak jadi makan disini, 'kan? Jadi aku membawamu lagi untuk menikmati makanan kesukaanmu."
"Sebenarnya tidak perlu, aku tau kau tidak suka tempat ini."
Singto menatap pria yang lebih muda dan tersenyum, "Tidak apa-apa, aku pernah berjanji padamu untuk membawamu makan disini lagi, ayo kita turun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate [SingtoxKrist]
Fanfiction[COMPLETED] Singto Prachaya. Pengusaha sukses yang namanya memasuki deretan orang terkaya di Thailand. Tak sedikit orang memujinya, wajah tampan nan rupawan, harta yang melimpah, dan kehidupan sejahtera. Semuanya terlihat begitu sempurna. Namun, dib...