Beberapa hari berada di rumah sakit membuat badan Krist berangsur-angsur membaik. Kini tubuhnya terasa lebih baik, lebih bugar dan lebih sehat. Kebiasaan muntah di pagi hari masih ia rasakan, namun tidak separah hari-hari lalu. Nafsu makannya juga perlahan muncul kembali, bahkan Krist bisa menghabiskan satu slice cake dalam sekali makan.
Selama berada di rumah sakit, Singto selalu menemaninya. Pria itu rela membawa pekerjaan kantornya ke rumah sakit dan membatalkan beberapa rapat penting hanya untuk menjaga Krist. Baginya, uang bisa dicari lain hari, tapi kesehatan Krist tidak.
Hari ini, dokter memperbolehkan Krist untuk pulang. Hal itu membuat si pria manis gembira, pasalnya Krist tidak pernah suka berlama-lama disana. Bau obat yang menyengat dan suara bising orang-orang membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Krist dan Singto tengah bersiap, mengemas barang-barang mereka agar tidak ada yang tertinggal. Singto juga membawa asisten rumah tangga untuk membantu mereka membereskan semuanya dan membawa barang ke mobil. Terlalu berlebihan memang, mengingat barang-barang mereka tidak banyak, tapi Singto melakukan itu agar Krist tidak lelah membawanya sendiri.
"Sebelum pulang, aku ingin mengujungi adikku dulu." Celetuk Krist memecah keheningan.
"Baiklah."
Krist berjalan menuju ruang dimana Love dirawat, ia hafal betul tempat itu, sudah berbulan-bulan Love menempatinya. Krist membuka pintu dan menemui adik cantiknya itu. Wajahnya masih pucat, matanya masih terpejam, dan alat-alat masih melekat ditubuhnya.
"Hai nong, phi datang menjengukmu. Phi rindu sekali denganmu."
Tak ada jawaban, hanya bunyi alat yang menyapa telinga Krist. Pria itu hanya tersenyum, banyak arti dalam tarikan bibirnya, sedih, rindu, marah, dan hampa.
Masih segar dalam ingatannya tawa ceria perempuan cantik itu. Dia selalu menjadi pelipur hati saat Krist merasa lelah, dia selalu menjadi semangat saat Krist hampir manyerah, dan dia selalu menjadi alasan Krist untuk bertahan.
"Sampai kapan kamu akan seperti ini, nong? Kamu pasti kesakitan, 'kan? Maafkan phi yang tidak bisa membantumu sama sekali, maaf phi tidak berguna."
Krist menggenggam tangan Love dengan erat dan menciumnya berkali-kali, ia berharap adiknya itu merasakan bahwa ia selalu disisinya. Krist tak bisa menahan air mata yang berontak keluar, lagi-lagi ia kalah dengan keadaan.
"Cepat bangun, nong. Banyak hal yang ingin phi ceritakan padamu."
Krist menenggelamkan wajahnya pada ranjang sang adik dan mulai terisak. Dada Krist penuh sesak, rasanya sangat menyakitkan. Krist hanya bisa menangis dan terus menangis.
Pria itu terkejut saat sebuah tangan menyentuh kepalanya, ia berharap bahwa tangan itu milik adiknya. Krist segera mengangkat kepala dan melihat siapa pemilik tangan itu. Harapannya pupus seketika saat tau bahwa itu bukan milik Love.
"Kita pulang sekarang?"
Krist menghapus air matanya dengan cepat saat melihat Singto dihadapannya, ia tak ingin terlihat lemah di depan orang lain, apalagi orang selicik Singto. Krist tidak mau pria itu memanfaatkan kelemahannya seperti yang sudah terjadi.
Pria manis itu menenggok sejenak kearah Love kemudian menganggukkan pertanyaan Singto. Sebenarnya Krist masih ingin berlama-lama disana, tapi ia tahu jika adiknya itu membutuhkan waktu istirahat--meskipun Love selalu tertidur.
"Sampai jumpa lagi, nong."
***
Derap langkah keduanya memasuki rumah mewah milik yang lebih tua. Kehadiran mereka disambut tak ramah oleh wanita yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Nutcha, istri Singto itu nampak kesal karena suaminya tidak pulang selama beberapa hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate [SingtoxKrist]
Fanfiction[COMPLETED] Singto Prachaya. Pengusaha sukses yang namanya memasuki deretan orang terkaya di Thailand. Tak sedikit orang memujinya, wajah tampan nan rupawan, harta yang melimpah, dan kehidupan sejahtera. Semuanya terlihat begitu sempurna. Namun, dib...