Pagi menyapa indah, sinar mentari bersinar terang. Krist menyibakkan selimutnya dan bangkit dari sana, ia mengambil handuk untuk bersiap membersihkan diri.
Kran menyala membasahi tubuh, rasa segar perlahan terasa hingga mampu menghilangkan nyeri pada punggung. Mandi di pagi hari selalu menjadi obat penenang untuk menciptakan suasana hati yang baik.
Selesai dengan rutinitas itu, Krist mengeringkan tubuhnya dengan handuk kemudian membalutnya dengan bathrobe merah kesukaannya.
Betapa terkejutnya Krist saat melihat Singto sudah berada di depan kamar mandinya dengan tampilan yang masih berantakan. Krist melirik jam dinding, biasanya pria itu sudah rapi dan bersiap berangkat kerja pada pukul segini.
"Kenapa kau disini?" Krist membenarkan bathrobe yang tidak terpasang sempurna karena ia mengira tidak akan ada orang di kamarnya.
"Baru saja satu minggu yang lalu kau mengatakan ingin berkerja denganku, apa sekarang kau sudah lupa?"
Krist mengernyit bingung, "Bekerja?"
Singto memukul pelan kepala Krist, saking pelannya hingga terasa seperti usakan di kepala. "Katanya kau ingin jadi baby sitter untuk anakku, aku sudah menerimamu, jadi kau harus melakukan tugasmu."
"Tapi, 'kan, twins belum lahir."
Singto kembali memukul pelan kepala Krist, "Dasar pelupa. Aku sudah menerimamu sebagai baby sitter berarti kau juga akan jadi asisten pribadiku saat di rumah."
Oh Krist mulai mengingat semuanya.
"Tidak, aku tidak mau. Aku hanya mau mengurus anakku, tidak denganmu juga."
"Baiklah, nanti aku akan meminta orangku untuk menghubungi biro jasa yang bisa mencarikan baby sitter yang lebih kompeten dan berpengalaman."
Mata Krist membola, "Apa maksudmu?"
"Daripada anakku diasuh oleh baby sitter abal-abal sepertimu yang tidak memiliki banyak pengalaman, lebih baik aku menyewa orang lain untuk merawat anakku."
"Tidak bisa! Dia anakku, tidak ada yang merawat anak lebih baik daripada orang tuanya sendiri."
"Kau terlalu kuno. Zaman sekarang banyak orang tua yang lebih mempercayakan pengasuhan pada baby sitter karena mereka lebih tau banyak tentang anak kecil daripada orang tua yang belum memiliki pengalaman sama sekali dalam mengurus bayi."
"Aku tidak mau, harus aku sendiri yang merawatnya." Tegas Krist.
"Jadi kau setuju jadi asisten pribadiku?"
Krist menatap Singto sejenak, kemudian memalingkan wajahnya. Dalam kepalanya sedang berpikir keputusan yang tepat untuk diambil.
"Baiklah, aku setuju."
Pria tampan itu tersenyum senang, "Keputusan yang tepat. Tugas pertamamu adalah membenarkan bajuku hingga terlihat rapi seperti biasanya."
"Apa? Aku bukan pembantu. Lagipula kedua tanganmu itu masih berfungsi jadi lakukan sendiri."
"Kau tau aku tidak suka penolakan, 'kan? Jadi lakukan atau aku akan membatalkan kesepakatan kita."
"Sial--" Krist membekap mulutnya sebelum kata umpatan keluar dari sana. Tidak, dia tak boleh mengatakan itu saat sedang mengandung.
Singto menahan tawa, menggigit pipi dalamnya agar suara keras tak lolos dari bilah bibirnya. Ia harus tetap terlihat tegas agar Krist tidak menolak permintaannya.
"Cepat, Krist, aku sudah terlambat."
Pria manis itu menghembuskan nafas kasar sebelum akhirnya memilih untuk menurut. Krist mendekat, memegang baju pria yang lebih tua dan membenarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrogate [SingtoxKrist]
Fanfiction[COMPLETED] Singto Prachaya. Pengusaha sukses yang namanya memasuki deretan orang terkaya di Thailand. Tak sedikit orang memujinya, wajah tampan nan rupawan, harta yang melimpah, dan kehidupan sejahtera. Semuanya terlihat begitu sempurna. Namun, dib...