Bagian 17

1.7K 188 19
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul 2 dini hari, Singto merasa tenggorokannya kering akibat terkena AC yang berada pada suhu paling dingin. Ia belum tertidur karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda akibat sakitnya.

Pria itu melihat atas nakas, wadah air minum kosong, biasanya ia akan mengisi wadah sebelum memasuki ruangan, tapi hari ini dirinya lupa. Alhasil, Singto harus mengeluarkan tenaga untuk mengambil air di dapur.

Singto mengisi air hingga penuh, berjaga-jaga untuk minum hingga pagi, sehingga dirinya tak perlu keluar ruang kerja lagi hanya untuk mengambil minum.

Saat kakinya melangkah untuk kembali ke kamar, matanya tak sengaja menatap pintu kolam renang tidak tertutup dengan benar. Ia bergerak untuk menutup, tapi langkahnya terhenti saat melihat seseorang berada di dalam sana.

"Krist."

Pria manis itu masih duduk bersimpuh di bawah sofa, kepalanya bersandar pada pinggiran yang keras, dan tangannya bersendekap dada. Singto segera menghampiri Krist yang terlihat kedinginan itu.

"Krist, astaga kenapa kau masih disini? Tempat ini lebih terbuka, angin malam pasti masuk kesini, kau akan kedinginan."

Krist menatap Singto dengan sendu, mata yang menyirat penuh luka, pipi yang penuh dengan bekas air mata. Sungguh sangat menyedihkan, melihatnya saja mampu membuat hati Singto terasa ngilu.

"Aku tidak akan pergi sebelum kau mengambulkan permintaanku." Ucap Krist lemah.

"Kau tau aku tidak akan bisa mengabulkan itu, jadi jangan sakiti dirimu sendiri."

"Tanpa aku menyakiti diri sendiri, aku sudah sakit. Apa aku salah jika aku mengharap balasan kasih sayang dari orang yang aku sayang? Apa aku salah jika aku mengharap tak ditinggalkan untuk kesekian kalinya? Aku hanya ingin dicintai, khun, tidak lebih."

Singto menagkupkan kedua tangan pada pipi Krist dan mengarahkan untuk menatapnya. Ia mengusap air mata Krist dengan pelan. Namun bukan berhenti, cairan bening itu justru semakin deras.

"Ssttt, sudah jangan menangis lagi." Singto kembali mengusap pelan, "Aku tidak memperbolehkanmu bukan tanpa alasan, kau tau jika aku bukan orang biasa, 'kan? Dunia yang aku jalani tidak sebaik itu, aku tidak ingin menyeretmu ke dalamnya. Aku tau kau sudah cukup merasakan derita, itu sebabnya aku tidak mau menabur garam pada luka yang menganga. Kau tidak akan tau apa yang akan kau lalui di depan nanti kalau banyak yang tau bahwa kau adalah orang yang melahirkan anakku. Mereka bisa saja menghujat, meneror, bahkan merendahkan harga dirimu."

Krist memandangi mata Singto, menatapnya dalam untuk menyalurkan rasa yang menguras hati.

"Aku tidak takut sesulit apapun hidup yang aku lalui nantinya, selama mereka berdua bersamaku, aku pasti bisa melewatinya."

Singto tersenyum kecil, ini baru Krist yang ia kenal, Krist yang tidak takut apapun. "Aku tau kau orang yang kuat, kau memiliki hati seluas samudra, tapi, apa twins juga akan sekuat dirimu? Apa mereka tahan dengan semua cacian dan kebencian dari luar sana?"

Pria itu bungkam, tapi air matanya seakan menjelaskan semuanya.

"Krist, asal kau tau, aku menyayangimu bukan hanya karena kau mengandung anakku, tapi aku juga menyayangimu sebagai dirimu sendiri. Kau terlalu berharga untuk terluka."

Krist menatap lekat manik hitam kelam itu, mengernyit menyimpan banyak pertanyaan. "Menyayangiku?"

"Sudahlah, kita ke kamar saja, aku tidak ingin kau sakit karena kedinginan."

Singto meraih tubuh Krist dan membantunya berdiri, meski pria itu sepertinya enggan untuk beralih. Singto sedikit memaksa, memegangi erat tubuh lemah itu dan membawanya ke kamar.

Surrogate [SingtoxKrist]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang